Memaknai Kemenangan

islam7Jika telah sempurna bagimu wahai Rasul kemenangan atas kaum kafir Quraisy dan sempurna bagimu penundukan kota Mekah.” (QS. An-Nashr: 1) (Sumber: At-Tafsir Al-Muyassar)

Ayat ini berbicara tentang apabila kemenangan itu tiba. Sebuah ‘impian’ yang selayaknya selalu terbayang di benak pejuang. Seberapapun pahit dan beratnya jalan juang, kemenangan tak boleh hapus dari ingatan. Sebab, demikianlah adanya janji yang Allah Ta’ala nyatakan dalam Al-Quran, juga yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sampaikan bagi setiap muslim yang teguh berjuang; Gemilang kemenangan, bukan pedih kekalahan.

Bahkan dalam perang Ahzab, saat kondisi sangat genting, musuh di depan berkolaborasi dan orang dekat siap menikam penuh benci, justeru Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengatakan bahwa dirinya ‘Diperlihatkan singgasana Romawi dan Persia’ sebagai isyarat bahwa kedua kekuatan raksasa ketika itu akan mereka tundukkan. Betapa Rasulullah saw selalu menghembuskan aura kemenangan, bukan bayang-bayang kekalahan yang menghantui pikiran.

Hal ini tentu bukan utopia, atau sekedar pelipur lara. Tapi keyakinan kuat tentang tabiat perjuangan, bahwa benarnya jalan yang dijalani, kerja keras yang tak pernah henti, sabar dan tabah menghadapi cobaan silih berganti dan penyandaran pada Kuasa Allah yang tak tertandingi, kan berujung pada kemenangan yang sudah pasti.

Terlebih, kemenangan yang disebutkan dalam ayat di atas langsung disandingkan kepada Allah Ta’ala sebagai “kemenangan Allah” (نصر الله). Setidaknya ada 3 makna yang dapat disimpulkan dari ungkapan tersebut ;

1- Kemenangan ini bersifat pasti. Karena dia milik Allah Ta’ala Yang Maha Kuasa. Siapakah yang mampu menghalangi jika Dia sudah tetapkan kemenangan-Nya? Hal ini memberi arti bahwa kemenangan itu sesungguhnya telah Allah setting sedemikian rupa. Sebagaimana ungkapan Sayid Qutub tentang kemenangan dalam Tafsir Dzilal-nya terkait ayat ini ;

 

فَهُوَ نَصْرُ اللهِ يَجِيءُ بِهِ اللهُ : فِي الْوَقْتِ الَّذِي يُقَدِّرُهُ . فِي الصُّورَةِ الَّتِي يُرِيدُهَا . لِلْغَايَةِ الَّتِي يَرْسُمُهَا

 

“Ini adalah kemenangan Allah yang Dia hadirkan; Pada waktu yang Dia tetapkan, dalam bentuk yang Dia inginkan, dan dengan tujuan yang Dia gariskan.”

Ibarat sebuah skenario yang sudah lengkap, dia hanya membutuhkan pemeran yang siap memainkannya dengan prima. Maka tugas seorang dai, mujahid, aktifis dakwah dan siapa saja yang berjuang di jalan Allah, hanyalah bagaimana mereka menjadi pemeran terbaik dalam lakon ini.

2- Tertutup segala celah kesombongan dan tindakan sewenang-wenang dalam menyikapi kemenangan. Sebuah kesadaran yang sangat halus dibangun dalam jalan perjuangan, bahwa walaupun kita diwajibkan berjuang keras, dan sebesar apapun kekuatan dan potensi yang dikerahkan, tetaplah kemenangan milik Allah, karena memang di tangan-Nyalah segala ketentuan itu berlaku. Rasa syukur, tunduk, dan memuliakan Allah, hendaknya merupakan suasana yang mendominasi jiwa saat sang pejuang meraih kemenangan. Itu sebabnya di akhir surat ini, kemenangan gemilang hendaknya disambut dengan tasbih, tahmid dan istighfar.

Jika kesadaran ini tidak dimiliki, kemenangan lambat laun hanya akan menggiring orang-orang yang dahulunya berjuang menentang kezaliman dan kesombongan, justeru akan menjadikannya sebagai aktor kezaliman dan kesombongan itu sendiri pada giliran berikutnya. Ironis memang! Tapi memang demikian nyatakan, tidak sedikit mereka yang diperangi karena kezalimannya dan kediktatorannya, dahulunya adalah pejuang anti kezaliman dan kediktatoran itu sendiri!

3- Karena kemenangan adalah milik Allah, Dialah yang paling berhak menentukan untuk apa kemenangan itu digunakan. Pada hakekatnya, kemenangan adalah sarana untuk meraih kemenangan yang sesungguhnya, yaitu ketundukan seorang hamba di hadapan kekuasaan Allah Ta’ala. Kemenangan bukanlah arena balas dendam, menumpuk kekayaan, melampiaskan keangkuhan dan mempertontonkan kekuasaan. Tapi kemenangan adalah untuk menciptakan suasana kondusif agar masyarakat dapat mengekspresikan ketundukan dan penghambaannya kepada Allah Ta’ala tanpa ada yang mengusik dan agar dakwah Islam tidak menemukan penghalang dan ancaman untuk disampaikan kepada segenap lapisan.

Maka sebenarnya, dalam konteks ini, selagi seorang muslim komitmen di jalan Allah, apalagi jika dia berjuang untuknya, sesungguhnya dia sudah meraih kemenangan pribadi di hadapan Allah Ta’ala, apapun kondisi yang menimpa dirinya, bahkan walau ketika nyawa menjadi taruhannya. Hal inilah yang dipahami oleh seorang sahabat bernama Harom bin Milhan, paman Anas bin Malik radhiallahu’anhuma, pada detik-detik terakhir kehidupannya, ketika dirinya berlumuran darah akibat tikaman musuh saat beliau menunaikan tugas dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dengan lugas dia berkata,

فُزْتُ وَرَبِّ الْكَعْبَةِ

“Aku telah menang, demi Tuhan Ka’bah.” (Muttafaq alaih)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *