Al-Qur’an Menyingkap Alam Raya

oleh : H. Syamsul Balda, SE. MM. MBA. MSc.

Rahasia dibalik penciptaan alam semesta, yang selama kurun waktu terakhir ini kerap menjadi misteri bagi para ilmuwan, sebenarnya akan dapat terungkap manakala kita melakukan telaah intensif dan objektif terhadap Al-Qur’an. Tiada satu surat pun dalam Al-Qur’an yang tidak membicarakan hal ini. Baik keindahan, keajaiban, misteri, serta hal-hal yang berkaitan dengannya.

Berikut ini contohnya:
“Katakanlah: “Sesungguhnya patutkah kalian kafir kepada Allah yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan tandingan-tandingan baginya? Itulah Rabb semesta alam. Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya (dengan menumbuhkan tetumbuhan dan sebagainya) dan Dia menetapkan padanya jenis makanan-makanannya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.

Kemudian kepada langit yang ketika itu masih berupa asap, Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu berdua menuruti perintah-Ku dengan patuh ataupun terpaksa”. Keduannya menjawab: “Kami datang dengan patuh”. Kemudian Dia menjadikan semuanya tujuh langit dalam dua masa, dan Dia mewahyukan kepada tiap-tiap langit itu perintah-Nya. Dan Kami hiasi langit dunia dengan beberapa bintang yang bersinar yang sekaligus juga Kami jaga (pelihara). Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS.41:9-12).

“Maka apakah mereka tidak melihat langit yang di atas mereka, bagaimana Kami membangunnya dan menghiasinya, serta tidak ada keretakan sedikitpun?” (QS.50: 6).

“Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang sebagaimana yang kalian lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy, dan menundukkan langit dan bulan yang masing-masing beredar menurut waktu yang telah ditentukan. Dia yang mengatur semua urusan ini, serta menjelaskan ayat-ayat (tanda-tanda kebesaran-Nya), agar kalian meyakini pertemuan dengan Rabb kalian. Dan Dia-lah yang membentangkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung serta sungai-sungai, menjadikan padanya buah-buahan yang memiliki pasangan-pasangan, dan Dia pula yang menutupkan malam pada siang. Sesungguhnya pada kesemuanya itu, terdapat tanda-tanda bagi mereka yang berfikir. Dan di bumi terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang maupun yang tak bercabang, yang disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain dalam hal rasa. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi mereka yang berakal” (QS.13: 2-4).

Setelah membaca ayat-ayat tersebut, mungkin akan timbul suatu pertanyaan, mengapa Al-Qur’an membicarakan realitas alam ini? Apakah Al-Qur’an dimaksudkan untuk menjadi literatur astronomi dan geografi ketika membicarakan pelik-pelik alam? Ataukah menjadi literatur biologi dan botani ketika membicarakan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya?

Sebenarnya bukan berarti demikian. Al-Qur’an diturunkan tidak membicarakan alam dengan segala komponennya secara detail. Juga tidak menjelaskan fenomena alam secara definitif dan terinci. Al-Qur’an berbicara tentang alam hanya secara sepintas, sebagai bukti konkrit dan argumentasi akan keagungan Allah SWT.

Karena itu, kebanyakan ayat-ayat tentang alam muncul setelah menjelaskan sifat-sifat-Nya (lihat QS. 27:59-64). Ketika Al-Qur’an berbicara tentang bumi, bukan bermaksud memberi tahu manusia tentang teknik penciptaannya, melainkan untuk mengalihkan perhatian manusia pada masalah-masalah alam, bahwa sesungguhnya bumi beserta seluruh kandungannya adalah ciptaan Allah SWT.; Dzat yang seharusnya disembah.

“Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, hendaknya kalian bertaqwa. Dia lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan, dan langit sebagai atap. Dan Dia menurunkan air dari langit (ke bumi), lalu Dia keluarkan (berkat air tadi) segala macam buah-buahan sebagai rizki bagi kalian. Karena itu, janganlah kalian membuat tandingan-tandingan selain Allah, padahal kalian mengetahui” (QS. 2:21-22).

Ayat di atas memerintahkan manusia untuk men-tauhid-kan Allah, sekaligus menjelaskan keagungan-Nya. Metodologi semacam ini, bukan sekedar untuk membuka khazanah penelitian alam an sich, tetapi lebih dari itu, agar sifat-sifat Allah tersebut digunakan sebagai bukti kekuasan-Nya yang pada gilirannya akan mampu mengusik sanubari dan jiwa manusia, sehingga naik dan membaik sebagaimana yang dikehendaki Al-Qur’an. Hal ini akan menstimulasi manusia untuk selalu berusaha mencari kebenaran.

Sesungguhnya, hakikat realitas eksistensi alam ini adalah Allah. Sebab, esensi ketuhanan berada di dalamnya. Dia-lah pencipta alam raya ini. Dia pula pencipta sistem Universe ini, serta aturan-aturan lengkap untuk menjaga kelestarian alam raya itu sendiri. Sebagian dari aturan-aturan inilah ,yang kemudian dikodifikasi dan dirumuskan secara tekstual (dan dikenal dengan istilah agama) yang dibawa oleh para Rasul agar manusia mengenal-Nya. Untuk ini pula, maka Allah swt memerintahkan manusia agar memperhatikan langit dan bumi: “Katakanlah: Perhatikanlah langit dan bumi!”.

Metodologi Al-Qur’an dalam membicarakan planet, matahari, bulan, tumbuh-tumbuhan, hujan dan lain-lainnya; tidaklah bertujuan menampakkan prinsip-prinsip ilmiah, melainkan untuk menunjukkan bukti-bukti teoritis yang memperlihatkan keagungan Allah.

Kemudian, mengapa Al-Qur’an tidak membahas masalah-masalah di atas secara detail dan ilmiah? Hal itu mempunyai motif yang sangat strategis. Al-Qur’an dimaksudkan untuk membimbing manusia menuju dan mengenal (ma’rifat) Allah, disamping menunjukkan nilai-nilai eternal, universal, dan fleksibilitas Al-Qur’an. Pembahasan Al-Qur’an secara detail dan ilmiah cenderung akan membatasi keuniversalan materi atau tema. Sebab, rasio manusia selalu berkembang dan mampu mengantisipasi dan menguak rahasia alam secara gradual. Namun, sesungguhnya Al-Qur’an di sisi lain juga berbicara tentang topik tertentu secara detail, yang hanya mampu difahami oleh orang-orang tertentu.

Al-Qur’an dan kebenaran ilmiah
Al-Qur’an tekstual bukan sebuah literatur ilmu fisika yang membahas alam secara detail. Justru ia hadir dengan menampilkan beberapa konsep kebenaran ilmiah yang akan membuat siapapun kagum dan terpana. Misalnya, ketika membicarakan topik alam, Al-Qur’an langsung mengarah pada awal penciptaannya, beberapa realita, serta akhir kejadiannya. Ia juga mengisyaratkan bagaimana mula-mula proses penciptaan bumi dan langit; bagaimana realita matahari, bulan, bintang, serta akhir perjalanan alam ini.

Ketika Al-Qur’an menerangkan tema-tema di atas, tidak satu pun ada konsep yang kontradiktif dengan kebenaran ilmiah yang telah dicapai oleh akal manusia melalui berbagai eksperimen. Misalnya:

Segala sesuatu diciptakan Allah berpasang-pasangan sebagai media untuk mendekat dan mengingat kebesaran Allah (QS. 51: 49-50). Ayat ini senada dengan teori positif-negatif; dimana segala realitas secara natural terbentuk dari dua unsur, negatif dan positif. Hal ini diungkap Al-Qur’an dari sisi esensialnya saja.

Realitas langit dan bumi berasal dari realitas yang satu (QS.21: 30). Konsep Al-Qur’an ini tidaklah bertentangan dengan teori empirik yang menyatakan bahwa pada mulanya langit dan bumi adalah satu. Dalam hal ini Al-Qur’an sekedar mengungkap kaidah-kaidah umum saja. Rincian masalah yang berkait dengan hal ini diserahkan pada rasio manusia.

Dalam Al-Aqur’an juga disebutkan, bahwa inti kehidupan adalah air (QS.21: 30). Konsep ini sudah merupakan realita ilmiah yang tidak dapat disangkal lagi.

Al-Qur’an menjelaskan tentang proses awal kejadian manusia, proses perkembangan hingga pada akhir perjalanannya. Konsep Al-Qur’an dalam hal ini menerangkan, bahwa secara biologis, manusia berasal dari unsur tanah, kemudian menjadi cairan sperma yang tersimpan dalam tempat yang kokoh (rahim), berikutnya membentuk segumpal darah, segumpal daging, tulang belulang yang dibungkus daging. Baru di fase terakhir dibentuk sebagai makhluk lain (format manusia) yang dilengkapi dengan unsur ‘Ruh Tuhan’ (QS.23: 12-14). Ternyata konsep Al-Qur’an ini terbuktikan kebenarannya secara empirik melalui ilmu kedokteran modern. Bahkan para ilmuwan medis di beberapa negara Barat mengakui, bahwa peristilahan yang digunakan Al-Qur’an dalam menjelaskan proses embriologi dan perkembangan manusia, lebih tepat dibanding peristilahan medis yang selama ini dikenal dan dipelajari di dunia kedokteran modern.

Hujan dengan segala proses kejadiannya yang natural (QS.24: 43) menunjukkan adanya kesamaan konsep antara Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan.

Disebutkan dalam Al-Qur’an, bahwa gunung berperan sebagai pasak bumi yang berfungsi sebagai pengendali kegoncangan yang akan mengancam eksistensi kehidupan manusia. Adanya sungai-sungai dan jalan-jalan yang berfungsi sebagai navigasi bagi perjalanan manusia (QS. 16: 15).

Akhir dari sebuah proses
Dalam Al-Qur’an disebutkan, bahwa suatu kejadian (alam) akan disudahi dengan bentuk lain, yakni kehancuran. Hal ini pasti akan datang pada saat yang telah ditentukan Allah. Realitas alam akan berbaur dengan realitas lain, sebagaimana telah diprediksikan oleh ilmu pengetahuan. Di berbagai tempat Al-Qur’an telah mengisyaratkan akan hal ini:

“(Yaitu) pada hari ketika bumi diganti dengan bumi yang lain, demikian pula langit. Dan mereka semua berkumpul menghadap Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa” (QS. 14: 48).

“Manakala terjadi Kiamat, tiada seorang pun dapat mendustakan kejadiannya. (Peristiwa itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan yang lain). Manakala bumi digoncang sedahsyat-dahsyatnya, dan gunung-gunung diluluh-lantakkan sehancur-hancurnya, maka jadilah semuanya laksana debu yang berterbangan” (QS. 56:1-6).

“Manakala matahari digulung. Manakala bintang-bintang berguguran. Manakala gunung-gunung dihancur-letuskan. Manakala unta-unta bunting ditinggalkan. Manakala binatang-binatang liar dikumpulkan. Dan manakala lautan diluapkan……” (QS. 81: 1-6).

Keterangan di atas memberi pengertian bahwa Al-Qur’an dalam membicarakan topik alam tidaklah bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Bahkan Al-Qur’an selalu memerintahkan manusia agar melakukan penelitian dan pengkajian tentang fenomena alam. “Katakanlah (Hai Muhammad): “Berjalanlah kalian semua ke segenap permukaan bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya” (QS. 29: 20); “Dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit” (QS. 17: 85); “Dan Katakanlah: “Rabbii, tambahkanlah aku ilmu pengetahuan” (QS.20: 114).

Paradigma keilmuan
Dari pembahasan alam di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk mempelajari alam semesta dengan maksud agar menemukan esensi keimanan. Tersebut dalam sebuah hadits dari Umar ra, bahwa dia pernah bertanya kepada Aisyah ra: “Beritahu aku tentang sesuatu yang paling mengherankan dari perbuatan Rasulullah SAW, yang pernah engkau saksikan”. Aisyah berfikir sejenak, lalu tiba-tiba menangis lama sekali. Kemudian ia menjawab sembari terisak: “Pada suatu malam, beliau mendatangiku, lalu ikut dalam selimutku hingga kulitnya pun menyentuh kulitku. Lalu beliau meminta dengan halus, “Wahai Aisyah, apakah engkau mengizinkan apabila malam ini aku beribadah kepada Allah?”. Aku menjawab, “Duhai Rasulullah, sesungguhnya aku ingin dekat dengan dirimu, tetapi aku memahami keinginanmu. Silahkan, aku mengizinkanmu”.

Lalu beliau menuju ke Qurbah (sejenis bejana air dari kulit biri-biri) dalam rumah, beliau langsung berwudlu tanpa banyak menghabiskan air. Kemudian beliau melakukan shalat dan membaca Al-Qur’an sampai menangis. Air matanya mengalir di pipinya hingga membasahi kain yang dipakainya. Beliau duduk sambil memuji Allah dan terus menangis, kemudian mengangkat tangannya, berdo’a, disertai isakan tangis, sehingga aku melihat air matanya sampai membasahi tanah.

Kemudian datang Bilal. Melihat beliau dalam keadaan menangis tersedu-sedu, ia pun bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau menangis…, bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosamu…?” Beliau menjawab dengan sesenggukan, “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur? Kemudian beliau melanjutkan, “Bagaimana tidak menangis, padahal malam ini Allah telah menurunkan ayat: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi Ulil Albab; yaitu orang-orang selalu berdzikir (ingat) kepada Allah baik ketika berdiri, duduk, maupun berbaring; dan selalu tafakkur (memikirkan) fenomena-fenomena ciptaan Allah di langit maupun di bumi. Rabbanaa, sungguh tidak sia-sia Engkau ciptakan semua ini, maka lindungilah kami dari adzab neraka…..” (QS. 3: 190). Lalu beliau mengingatkan: “Sungguh celaka orang yang tidak mau merenungkannya…”.

Oleh karena itu, dalam proses keberilmuan untuk mencari kebenaran hakiki, manusia sepantasnya mengikuti tuntunan Al-Qur’an tentang hal ini:

Mengarahkan potensi dan kreatifitas akal untuk memikirkan secara optimal fenomena ayat-ayat kauniyah, baik mikrokosmos maupun makrokosmos, yang secara stimulatif telah diisyaratkan dalam banyak ayat Al-Qur’an. Dan tidak mengarahkan potensi serta kreatifitas akal untuk memikirkan Dzat Allah (Sang Pencipta), karena hanya akan mengundang kesia-siaan belaka.

Tidak bersikeras mempertahankan interpretasi serta kesimpulan-kesimpulan terhadap topik ilmu pengetahuan tertentu yang belum diadakan penelitian terhadapnya secara ilmiah. Dan Al-Qur’an tidak akan mungkin bertentangan dengan kebenaran ilmiah yang baku.

Apa yang telah dicapai oleh para ilmuwan dewasa ini, sangat terbatas sekali dibanding dengan rahasia alam yang masih terbentang luas. Hingga untuk menyingkapnya, masih diperlukan fase-fase yang panjang. Kita tidak boleh menentang teori-teori yang ditemukan siapapun, apabila sesuai dengan postulat-postulat Al-Qur’an.

Al-Qur’an tidaklah identik dengan ensiklopedia atau buku-buku ilmu pengetahuan pada umumnya. Al-Qur’an menggunakan pendekatan fungsional terhadap kajian alam semesta sebagai literatur keimanan, disamping ia juga memberi kebebasan yang memadai.

terhadap usaha-usaha penelitian dan pengkajian alam semesta.

Semoga Allah memberikan petunjuk dan bimbingan-Nya kepada kita agar tidak tergelincir pada kesalahan pemikiran dan kejumudan kreatifitas berfikir. Wallahu a’lam bish-shawwab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *