Belajar Dari Momentum Hijrah

Masjid Taj Mahal“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dimaksud), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 4 an-Nisa, 100). “Tidak (ada lagi) hijrah (dari Makkah ke Madinah) sesudah penaklukan (kota Makkah oleh kaum muslimin), tetapi jihad dan niat (tetap berlangsung).” (al-Hadits).

Hijrah secara bahasa berarti meninggalkan atau berpindah. Sedangkan menurut istilah secara khusus, sebagaimana dikenal dalam sejarah, adalah berpindahnya kaum muslimin Makkah (muhajirin) ke Madinah dalam rangka menegakkan dinullah secara kaffah (menyeluruh dan integeral). Sedangkan pengertian secara umum, sebagaimana diisyaratkan dalam sebuah hadits, adalah meninggalkan apa saja yang dilarang Allah. Hijrah adalah bukti ketulusan dan dedikasi demi kepercayaan dan prinsip. Demikian Akram Diya al-‘Umari mengungkapkan esensi hijrah dalam bukunya “Masyarakat Madinah Pada Masa Rasulullah, saw. Selanjutnya ia mencontohkan kasus hijrahnya Suhayb bin Sinan al-Rumi. Kaum Quraisy mencoba mencegahnya melakukan hijrah dan menegaskan kepadanya bahwa ia telah mengumpulkan harta begitu banyak di Makkah dan tidak mempunyai harta sebelum dia ke sini. Suhayb meninggalkan semua hartanya untuk mereka dan pindah tanpa membawa apapun. Ketika Rasulullah saw. mendengar tentang kejadian ini, beliau bersabda: “Suhayb telah mendapatkan keuntungan.” (Hadits riwayat al-Hakim dalam al-Mustadraknya). Akram lebih jauh menegaskan : “Peristiwa hijrah adalah petunjuk kekuatan ajaran Islam dan latihan yang dilakukan Rasulullah terhadap para pengikutnya. Melalui proses ini, mereka menjadi manusia berkualitas untuk memikul tanggung jawab sebagai khalifah Allah di muka bumi ini, melaksanakan hukum-hukumnya, memenuhi semua perintah-Nya dan berjuang di jalan-Nya. Ayat, Hadits dan bukti sejarah di atas menggambarkan dengan jelas bahwa hijrah merupakan tuntutan atau kebutuhan manusia (hajah basyariyyah) yang menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik. Di samping sebagai kewajiban ilahi (faridlah ilahiyyah) yang harus ditunaikan dalam proses menjalankan aturan Allah demi kesejahteraan manusia itu sendiri. Dengan demikian hijrah demikian penting dalam pembinaan sumber daya manusia. Ia adalah cara terbaik untuk mengetahui seberapa jauh tingkat keseriusan dan pengorbanan seseorang dalam membentuk dirinya sebagai seorang muslim.

Hijrah, Ruang lingkup dan Kepentingannya

Hijrah secara khusus (dari Makkah ke Madinah) telah berakhir semenjak kaum muslimin menguasai kota Makkah. Yang tidak mengenal kata akhir adalah hakikat hijrah yang menjelma dalam perubahan secara ma’nawi yang mencakup : Pertama: hijrah pemikiran dan pemahaman. Artinya setiap muslim senantiasa dituntut untuk meninggalkan pemahaman dan pemikiran yang keliru seputar diri dan kehidupannya. Untuk selanjutnya digantikan dengan pemahaman dan pemikiran yang benar dan tepat sebagaimana yang digambarkan dan dimaksudkan Pencipta-nya. Contoh, disadari atau tidak sebahagian ummat ini telah terjebak dalam pemahaman dan pemikiran yang diperlihatkan dalam pengalaman hidup bahwa dunia lebih baik dari pada akhirat. Sementara Allah, Pencipta kehidupan ini, mengatakan sebaliknya. Buktinya adalah perhatian dan kesempatan, baik waktu maupun tenaga, yang diberikan untuk kepentingan akhirat adalah sisa-sisa keletihan kerja untuk kepentingan hidup duniawi.

Kedua: Hijrah spiritual dan mental. Artinya setiap muslim dituntut untuk memperkokoh dan memantapkan semangat, mental dan jiwanya dalam menegakkan prinsip kebenaran sebagai kelanjutan pemahaman dan pemikirannya. Karena hanya orang-orang berpegang teguh kepada prinsip kebenaranlah yang dapat melakukan perubahan. Sekalipun taruhannya adalah nyawa, tetapi ia akan tetap harum apalagi jika ia seorang muslim dan membangun perjuangannya di atas ketulusan, keikhlasan dan kejujuran. Dengan demikian keadilan, kemuliaan dan kehormatan tidak hanya dapat ditegakkan dari atasan ke bawahan, tetapi juga sebaliknya. Dengan spirit hijrah ini, siapapun dapat mempelopori perjuangan dalam rangka mengembalikan manusia kepada kemuliaannya.

Ketiga: Hijrah etika dan moral. Dimaksudkan agar setiap muslim dapat memperlihatkan prilakunya yang penuh etika dan akhlaq yang mulia sebagai cermin dari pemikirannya yang agung dan metalitasnya yang penuh dedikasi. Hijrah ini memang membutuhkan ketekunan dan kesiapan yang pertama dan kedua. Karena resikonya lebih jauh dan nampak kelihatan dengan jelas. Berbeda dengan yang pertama dan kedua yang seluruhnya termasuk sikap abstrak dan tidak kelihatan mata atau dirasakan langsung penampilannya. Contoh, ketika seseorang memahami kewajiban jilbab dalam batas keyakinan semata, ia tidak akan langsung berhadapan dengan resiko. Jauh berbeda dengan seseorang yang kemudian menampilkannya dalam pakaian sehari-hari termasuk kerja, ia pasti akan dihadapkan dengan sejumlah resiko minimal pelecehan dari teman sekerjanya kalau bukan dari atasan bahkan orang tuanya. Tetapi jika ia bertahan dengan pemahaman dan mental yang ditunjukkannnya dalam prilaku dan sikap yang hormat dan kedisiplinan kerja ditambah keterampilan atau skill yang profesional, maka kehormatan pun akan berdatangan tanpa diminta atau diundang sampai diabadikan dalam sejarah perbaikan nasib manusia. Dengan ketiga bentuk hijrah ini, maka jati diri seorang muslim akan menjadi karyawan, buruh, pelajar, manajer atau pemimpin yang disegani dan dihormati. Bahkan secara jujur ia siap bersaing memasuki kompetisi kerja yang semakin sulit.

Hijrah, Etika Kedisiplinan dan Etos Kerja

Ketiga bentuk hijrah di atas, jika dijalani seorang muslim secara meyeluruh (kaffah) maka akan terbentuk dalam dirinya suatu kekuatan dan potensi kedisiplinan yang menjadi dasar pembentukan profesionalisme. Karena profesionalisme yang dimaksudkan tidak hanya sebatas ketepatan waktu pada jam kerja, kwalitas barang yang diharapkan dan kepatuhan kepada atasan, tetapi juga faktor kejujuran yang dapat menjaga pemalsuan dan hilangnya barang. “Jihad dan niat” sebagaimana yang diungkapkan dalam hadits di atas, dengan makna, ruang lingkup dan tujuan yang sebenarnya, dapat menjadi dasar motivasi dalam membentuk budaya disiplin yang sekaligus dapat menunjang etos kerja yang positif dan baik. Apalagi Islam sendiri mendukung setiap misi kebaikan yang benar-benar terbukti bermanfaat bagi manusia. Sampai keharmonisan dan kenyamanan kerja dengan mamajemen yang baik adalah bagian yang sangat diperhatikan Islam. Seperti memenuhi janji sesuai dengan yang disepakati adalah kewajiban yang harus ditunaikan kepada setiap orang. Selama perjanjian itu tidak bertentangan dengan ketentuan dan aturan Islam dan seluruh misinya. Inilah yang dimaksudkan dengan etos kerja Islami. Yaitu etos kerja yang menghormati perjanjian dengan siapapun selama tidak dalam kemaksiatan, menghargai kemuliaan manusia, saling menguntungkan sesuai dengan tingkat kesejahteraan secara proporsional, memberikan hak kepada setiap pihak menjalankan keyakinannya yang dibenarkan menurut agama masing-masing, tidak memaksakan kehendak dan peraturan yang bertentangan dengan agama (Islam), dan bahu membahu memambangun suasana kerja yang harmonis sesuai dengan etika pergaulan yang dibenarkan menurut agama (Islam).

Wallaahu a‘laam bishshawwab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *