Bukan Fisik Baru, Tapi Ruh Baru

Ada satu rumusan dalam berda’wah yang setiap da’i mesti merenungi, memahami, mentadabburi, mengamalkan dan menghayatinya. Menghayati dalam arti hayat (hidup) dengannya. Rumusan itu adalah pernyataan berikut ini:

“Kalian adalah ruh baru yang mengalir di jantung ummat ini, lalu menjadikan jantung itu hidup dengan Al Qur’an, kalian adalah cahaya baru yang bersinar, lalu mensirnakan kegelapan materialisme dengan ma’rifatullah, kalian adalah suara yang bergema dan meninggi yang memantulkan kembali seruan Rasulullah saw …”

Sebagai ruh, kehadirannya sangat ditunggu-tunggu, sebab ruh adalah harapan baru, kehidupan baru dan semangat baru.

Sebagai ruh, kehadirannya tidak menyakitkan yang sudah ada, dan tidak mengancam serta mengusik orang-orang sebelumnya, bahkan seakan tidak ada perubahan apapun yang terjadi pada jasad yang dimasukinya. Sebaliknya, jika ruh itu pergi, jasad yang ditinggalkannya meronta-ronta kesakitan, orang-orang yang ada di sekelilingnya menangis, semangatpun lemah, dan kehidupan menjadi layu dan mati.

Sebagai ruh, eksistensinya tidak membawa misi untuk menghabisi dan menghilangkan orang lama, justru sebaliknya, ia akan menambah nilai, harga dan posisi tawar jasad yang dimasukinya. Sebaliknya, jika ruh itu meninggalkan jasad, maka, nilai dari jasad itu tidak lebih dari sekedar tanah, karenanya, sebentar lagi ia akan dikembalikan kepada tanah. Kalau saja bukan karena mengingat bahwa pada jasad itu pernah bersemayam sang ruh, niscaya orang-orangpun akan menganggapnya sebagai onggokan tanah.

Ruh adalah kepekaan. Jasad yang telah ditinggalkan sang ruh, tidak lagi memiliki kepekaan. Penyair Arab mengatakan bahwa luka yang digoreskan pada seseorang yang telah meninggal, orang itu tidak akan mengaduh dan mengerang kesakitan.

Ruh adalah gerak, langkah, dan kehidupan. Bahkan tidak sekedar gerak, langkah dan kehidupan, namun, ia adalah gerakan yang terbimbing, langkah yang pasti dan kehidupan yang jelas konsep dan tujuannya.

Ruh adalah ruh.

Betapa banyaknya makna, nuansa dan suasana yang bisa kita gali dari ruh.

Bila da’i dikatakan sebagai ruh, artinya kehadiran sang da’i itu sangat dicari-cari dan sangat ditunggu-tunggu, meskipun manusia disekelilingnya tidak mengungkapkan secara lisan apa yang dirasakannya selama masa penungguan itu. Ia ditunggu-tunggu oleh publik, oleh masyarakat dan oleh lingkungan sekelilingnya, karena diyakini akan membawa harapan dan semangat baru. Dengan nurani dan perasaannya, masyarakat menginginkan munculnya pemuda yang saleh dan gadis yang salehah, munculnya generasi yang akrab dengan Al Qur’an, taat kepada syari’at, benci terhadap maksiat dan muak dengan kebobrokan.

Di sekeliling da’i itu banyak lembaga-lembaga keagamaan. Di situ ada masjid, ada mushalla, ada madrasah, ada pesantren dan sebagainya, namun, lembaga-lembaga itu mirip dengan sebuah riwayat yang mengatakan: mesjid-mesjidnya gagah dan megah, namun kosong dari hidayah. Karenanya, masyarakat menunggu-nunggu, siapa gerangan yang mampu mengisi kekosongan itu dan mengubahnya menjadi sumber pelita dan hidayah.

Di sekeliling da’i banyak organisasi-organisasi; organisasi pemuda, organisasi massa, lembaga swadaya masyarakat, organisasi struktural dan organisasi non struktural. Dilembaga-lembaga sepertiitulah sang da’i bisa berperan, dan menempatkan dirinya sebagai ruh yang akan menjiwai seluruh organisasi-organisasi itu dengan nilai yang dibawanya, dengan keimanan yang telah tumbuh di dalam hatinya, sehingga berkembang besar memberikan buahnya, dan memberikan kontribusi rasa manisnya kepada siap saja yang dekat dengan dirinya.

Di sekeliling da’i banyak terdapat tokoh-tokoh masyarakat, baik tokoh-tokoh formal struktural, ataupun tokoh-tokoh informal non struktural. Dengan mereka sang da’i bisa menyampaikan kepekaannya, semangatnya dan daya hidup-nya, agar para tokoh itu juga memiliki kepekaan, semangat dan daya hidup seperti dirinya.

Dalam buku-buku da’wah tersebutlah kisah seorang da’i yang bernama Hasan Al Banna. Di masa mudanya, saat ia masih menjadi mahasiswa, ia telah merasakan adanya ketidak beresan dalam masyarakat lingkungannya. Salah satunya, dan ini yang terpenting menurut dia, adalah adanya gerakan deislamisasi yang merajalela di tengah-tengah masyarakat. Repotnya, banyak tokoh-tokoh muslim yang tidak merasa (apalagi menyadari) adanya gerakan itu. Saat itu sang da’i muda ini mendengar ‘bocoran’ berita bahwa para tokoh muslim itu sedang berkumpul untuk berbuka bersama. Mendapatkan ‘bocoran’ seperti itu, sang mahasiswa yang da’i ini berangkat ke sana, meskipun tidak diundang. Sesampainya di sana, sang da’i muda ini berkata: “Apa yang akan kalian katakan di hadapan Allah swt bila ditanyakan: “Mengapa kalian enak-enak makan, sementara masyarakat sekeliling kalian terancam menjadi kafir tanpa kalian rasa?

Singkat cerita, para ulama’ di forum itu kemudian menyepakati perlunya dilakukan kerja sama untuk menanggulangi gerakan deislamisasi.

Beginilah figur da’i, ia mampu menjadi ruh bagi kehidupan sekelilingnya.

Bila kita mengaku sebagai aktifis, kader atau simpatisan da’wah, hendaklah kita gembleng diri kita., dan kita didik dia dengan Ruh Al Qur’an dengan cahaya Islam, dengan power keimanan sehingga seakan kita hidup lagi setelah meninggal (QS Al An’am: 122), dan seakan kita mendapatkan ruh kembali setelah ruh itu pergi meninggalkan kita, sehingga kita mampu menjadi ruh baru yang mengalir pada jasad ummat, menjadi cahaya baru yang menerangi jalan mereka, dan menjadi suara yang menggemakan kembali seruan Rasulullah saw.

Bila kita mengaku sebagai aktifis, kader atau simpatisan da’wah, hendaklah kita mampu menjadi motivator, dinamisator dan penggerak berbagai sektor kehidupan yang ada di sekeliling kita, semampu kita; kita hidupkan lembaga-lembaga yang ada, kita segarkan organisasi-organisasi yang ada dan kita pompakan lagi semangat kita ke seluruh sendi kehidupan.

Ditulis Oleh : Ust. Musyafa’ AR.

One thought on “Bukan Fisik Baru, Tapi Ruh Baru

Leave a Reply to Abu Fatih Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *