Infaq Fii Sabilillah (2)

INFAQ MENGANTARKAN MANUSIA PADA KEBAHAGIAAN SEJATI

Oleh : DR. Azhami S.

1B

Pada pembahasan terdahulu kita telah membicarakan tentang motivasi yang diberikan Al-Qur’anul Karim kepada kaum muslimin agar mau mengeluarkan infaq di jalan Allah. Allah menerangkan bahwa Dia akan membalas dengan berlipat ganda atas infaq yang dikeluarkan hamba-Nya. Selain itu, Allah SWT juga menjelaskan bahwa harta yang diinfaqkan tidak akan habis, akan tetapi yang kita makan itulah yang akan habis.

Ketika Islam memberikan ajaran yang demikian mulia, orang-orang kafir percaya dengan sebuah falsafah yang mengatakan bahwa kebaikan yang dilakukan seseorang kepada orang lain malah akan mendatangkan bencana. Falsafah ini mungkin berlaku di barat yang masyarakatnya senang mengungkit-ungkit kebaikannya, sehingga orang yang menerima kebaikannya sakit hati, sehingga bencanalah yang dihasilkan dari suatu kebaikan. Sedangkan Islam dari awal telah melarang ummatnya untuk mengungkit-ungkit kebaikan, sehingga kebaikan yang dilakukan seseorang akan mendatangkan kebaikan berikutnya, dan tidak akan pernah menimbulkan bencana, insyaAllah.

Contoh lain tentang kekeliruan falsafah barat nampak pada kejadian berikut. Ada seorang dokter perempuan yang bercerai dengan suaminya, karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain. Setelah berfikir sekian lama, ia tidak juga menemukan jalan keluarnya. Kemudian ia bertemu dengan seorang temannya semasa kuliah, yang sekarang menjadi seorang psikolog. Temannya memberikan saran sebagai jalan keluar sebagai berikut “Sikap kamu selama ini menunjukkan kamu dendam dengan suamimu. Supaya aman, maka kamu harus berbuat seperti yang dilakukan suamimu, yaitu kamu harus berselingkuh dengan laki-laki lain. Dengan siapa kamu berbuat seperti suamimu ? Jawabannya adalah dengan saya”. Jadi penyelesaian seperti itulah yang ditempuh oleh psikolog barat. Psikologi itu dikembangkan di barat, sehingga solusi yang ditawarkan pun model barat. Bagi orang barat solusi semacam itu mungkin bisa dibenarkan, akan tetapi tidak bagi seorang muslim.

Model penyelesaian ini mirip dengan falsafah yang dianut para pakar sosiologi barat di atas yang mengatakan bahwa “Perbuatan baik akan melahirkan permusuhan”. Falsafah seperti ini meyebabkan orang barat tidak mau berbuat baik kepada orang lain, karena perbuatan baiknya selalu mendatangkan peperangan. Misalnya, ketika ada orang barat yang meminjamkan uangnya, perbuatan itu selalu diiringi dengan berbagai macam tuntutan kepada orang yang diberi pinjaman. Kalau tuntutan-tuntutan pemilik uang itu tidak dipenuhi oleh peminjam, maka yang terjadi adalah al-‘adawah (permusuhan). Jadi pemberian pinjaman yang pada awalnya adalah kebaikan semata, namun karena disertai berbagai macam tuntutan maka malah akan mendatangkan permusuhan. Inilah yang oleh orang barat dikatakan bahwa “Perbuatan baik akan menimbulkan permusuhan”. Dan semua permusuhan itu terjadi karena tidak mengikuti aturan Islam. Dalam pandangan Islam, ketika kita menginfaqkan harta benda kita, Allah melarang kita untuk mengungkit-ungkit dan menyakiti hati penerimanya, baik dengan lisan atau dengan perbuatan. Jika aturan yang demikian ini ditaati, maka infaq tersebut tidak akan menimbulkan permusuhan seperti yang terjadi di dunia barat.

Pada ayat ini kita melihat terdapat beberapa hal yang menunjukkan betapa tingginya bahasa yang dipergunakan Al-Qur’an pada ayat ini. Allah SWT mengatakan (Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya).  Setelah menerangkan tentang orang yang menginfaqkan hartanya, harful atfi (kata sambung) yang dipergunakan untuk melarang pelakunya dari sikap mengungkit-ungkit adalah tsumma, bukan wawu atau fa’. Apa rahasianya ? Kita tahu bahwa tsumma dipergunakan untuk lit tarakhi yang artinya ‘kemudian’. Sedangkan fa’ adalah untuk lit ta’kid yang artinya ‘maka’. Ketika antara dua hal disambung dengan harful attaf (kata penghubung) yang dipergunakan adalah tsumma, maka antara keduanya ada jarak. Karena dua hal yang dihubungkan itu adalah infaq fi sabilillah dengan manna dan adza, ini menunjukkan bahwa antara infaq fii sabilillah dengan manna dan adza adalah dua hal yang tidak seharusnya bersatu, tetapi harus ada jarak.

Kalau antara dua hal disambung dengan fa’ berarti antara keduanya ada selisihnya namun hanya sedikit. Sedangkan kalau kata penghubungnya adalah tsumma, maka selisihnya banyak. Dengan dipergunakannya kata penghubung yang berbunyi tsumma, menurut sebagian ahli tafsir ma’nanya adalah bahwa memberi infaq yang pada dasarnya merupakan perbuatan mulia. Dan kalau ada orang yang berinfaq dan tidak diiringi dengan mengungkit-ungkit dan menyakiti hati penerimanya, maka kemuliaannya lebih besar lagi.

Membiasakan diri agar mau berinfaq di jalan Allah bukanlah perbuatan yang ringan. Namun menjaga agar kita tidak mengungkit-ungkit infaq yang kita keluarga, apalagi pada saat orang yang menerima infaq kita itu ada masalah dengan kita, ada perbuatan yang lebih berat lagi. Dan untuk menggambarkan hal ini, maka ta’bir yang dipergunakan Al-Qur’an adalah tsumma bukan yang lain. Subhanallah. Betapa tingginya nilai bahasa yang dipergunakan Al-Qur’an. Kalau kita membaca Al-Qur’an dengan tartil dan kemudian kita merenungkan ma’na yang terkandung di dalamnya, seolah-olah Al-Qur’an baru turun kepada kita. Inilah barangkali yang dimaksudkan para Ulama’ bahwa Al-Qur’an adalah atho’ullah al-mutajaddid (Al-Qur’an adalah karunia Allah yang selalu baru). Kalau kita membaca sebuah kitab tafsir tentang ma’na suatu ayat Al-Qur’an, kemudian kita membaca kitab tafsir yang lainnya, pasti akan kita temukan sesuatu yang baru yang belum dibahas dalam kitab tafsir sebelumnya.

Selanjutnya Allah mengatakan (mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka). Kalimat yang berbunyi robbihim, yang merupakan idhofatu robb ila him (disandarkannya kata robb dengan him, yaitu orang yang berinfaq fii sabilillah), adalah tasyrifan lahum (penghormatan yang Allah berikan bagi kaum muslimin yang mau berinfaq di jalan Allah tersebut). Penggunaan uslub seperti ini mengandung ma’na bahwa seolah-olah Allah SWT hanya memperhatikan orang yang berinfaq saja. Ini menunjukkan bahwa orang-orang yang berinfaq di jalan Allah yang tidak diiringi dengan mengungkit-unkit dan menyakiti hati penerimanya, kedudukannya benar-benar dekat dengan Allah SWT (‘indiyah – di sisi Allah SWT).

Allah menutup ayat ini dengan mengatakan (Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati). Kadangkala orang yang mengeluarkan infaq dari sebagian harta bendanya, dibayangi perasaan takut kalau-kalau hartanya habis karenanya. Ada juga kemungkinan orang yang mengeluarkan hartanya itu menyesali perbuatan yang telah dilakukannya, sehingga merasa sedih pula.

Pada penutup ayat ini Al-Qur’an menggunakan dua kalimat yang hampir sama yaitu khouf dan hazn. Apa perbedaan antara keduanya ? Perbedaan antara khouf (khawatir) dengan hazn (menyesal) adalah bahwa yang dimaksud dengan khouf adalah perasaan sedih yang menghinggapi seseorang berkaitan dengan masa yang akan datang. Sedangkan yang dimaksud dengan hazn adalah kesedihan seseorang karena memikirkan apa-apa yang telah diperbuatnya pada masa yang lalu. Penegasan Allah pada penutup ayat ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa orang yang mau menginfaqkan sebagian harta bendanya di jalan Allah akan terbebas dari dua kesedihan. Ini menunjukkan bahwa mereka yang mau berinfaq fi sabilillah adalah manusia-manusia yang memiliki masa depan yang cerah. Kenapa ? Karena mereka adalah manusia-manusia yang terbebas dari berbagai macam ketakutan berkenaan dengan masa yang akan datang dan tidak pernah merasa sedih atas apa yang telah dilakukannya pada masa yang lalu. Dan manusia yang terbebas dari rasa khawatir dan menyesal merupakan manusia yang menikmati kebahagiaan yang sebenarnya. Sebaliknya orang yang kikir adalah orang yang tidak pernah bahagia karena kehidupannya selalu dilanda berbagai macam ketakutan.

Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa ayat ini turun kepada Utsman bin ‘Affan dan Abdurrohman bin ‘Auf. Dalam perang Tabuk, kedua shohabat ini menginfaqkan hartanya dengan jumlah yang luar biasa besarnya. Utsman bin ‘Affan menginfaqkan hartanya sebanyak seribu dinar dan ditambah dengan menanggung seluruh keperluan perang yang belum ditanggung oleh shohabat yang lainnya.

Ini menunjukkan betapa tingginya nurani Utsman bin ‘Affan ini, sehingga dalam menilai perilaku Utsman bin ‘Affan ini kita harus pandai-pandai melihat kebajikan beliau. Jangan sampai kita bersikap seperti sebagian orang yang hanya pandai melihat kasus KKN-nya Utsman, pada yang dilakukannya belum tentu KKN. Dalam melakukan studi atas perilaku shohabat, ada orang yang hanya pandai melihat kekurangan para shohabat saja, tanpa mau menengok kelebihannya. Walaupun para shohabat memiliki kekurangan (tidak ada manusia yang sempurna), namun semuanya tenggelam dalam bahru hasanati (kekurangannya tenggelam dalam samudera kebajikannya). Di saat orang-orang ingkar dan menetang Rasulullah SAW, para shohabat itulah yang membela Rasulullah SAW dengan harta benda dan nyawanya. Namun ironisnya ada orang yang tidak pandai melihat kelebihan para Shohabat, dan hanya suka mencari-cari kekurangannya. Na’udzubillah.

Perkataan yang baik dan pemberian ma’af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (QS. 2:263).

Pada ayat ini Allah mengaskan bahwa kalau manusia tidak menyambut perintah Allah untuk berinfaq, itu tidak menjadi masalah bagi Allah SWT karena Dia Maha Kaya. Kalau kita tidak mau memberi infaq kepada para fakir dan miskin, Allah-lah yang akan memberi merekarizki. Dan Allah juga Maha Penyantun, sehingga hendaknya kita menjadi hamba yang juga penyantun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *