Mengapa Harus Berdo’a

berdo'aKita semua adalah musafir. Sekarang kita sedang berada di sini, di dalam gerbong kereta waktu yang membawa kita melaju dalam perjalanan hidup. Dan station di mana kereta itu kelak akan terhenti adalah ini : kuburan. Maka ketika kereta waktumu berhenti lalu engkau keluar dari gerbong, engkau hanyalah akan berpindah ke gerbong lain dari kereta waktu yang akan mengantarmu ke padang pertanggungjawaban.

Sesungguhnya yang dapat membuatmu lurus dalam hidup adalah jika engkau senantiasa mengingat perhentian terakhir dari perjalanan hidup ini. Dan ketika kesadaran itu lepas dari ingatan batinmu, niscaya engkau akan menemukan bahwa semua dorongan liar yang berkecambah di dalam jiwamu, merasuk di dalam pikiranmu, dan saat itulah dimana sahabat abadi yang mengalir di dalam darahmu, sang syaitan, menjadi masinis yang membawa lokomotif kereta kehidupanmu.

Maka teruslah berlari. Dan janganlah! Janganlah pernah menengok ke belakang, walapun hanya sekejap, walaupun kakimu sakit tertusuk duri. Maka dengarlah, wahai Musafir, Nabimu membacakan firman Tuhanmu: “Maka berlarilah kamu semua menuju Allah, sesungguhnya aku (bagimu) hanyalah pemberi peringatan yang jelas dari-Nya.” (Q.S. Adz Dzariyaat, 51:50)

Munajat yang Tak Pernah Putus

Begitulah sang Musafir mulai terbangun dari tidur panjangnya. Ia mulai membersihkan wajahnya dengan wudhu dan menjalani hari-harinya dengan munajat yang tiada pernah putus. Hatinya telah terbang tinggi ke langit angkasa dan terpaut di sana. Sementara kakinya beranjak dari satu tempat ke tempat lain dalam bumi, hatinya bercengkrama di langit ketinggian.

Kini jiwa sang Musafir telah menyadari bahwa doa bukanlah kumpulan kata-kata kering, bukanlah harapan yang dingin, dan bukanlah sekedar menengadahkan kedua tangan ke langit.

Tidak! Kini sang Musafir menyesali mengapa ia terlambat memahami makna dan hakikat doa. Ternyata doa adalah sebuah surat sang Jiwa yang senantiasa terpaut dengan langit. Doa adalah rindu yang tiada pernah selesai kepada Allah swt, maka setiap kata dalam doa adalah gelombang jiwa yang getarannya niscaya terdengar di semua lapisan langit. Di sini tiada tempat bagi kepura-puraan. Disini tiada ruang bagi kebohongan. Begitulah sang Musafir terus berlari ketempat penghentian terakhir, ketika raganya masih berada dalam gerbong kereta waktu. Maka dengarlah munajat sang Musafir itu: “Ya Allah, bantulah aku untuk senantiasa mengingat-Mu, mensyukuri-Mu, dan menyembah-Mu dengan cara yang baik.” (H.R. Abu Dawud dari Muaz bin Jabal)

Berdoa: Seni Menggunakan Pedang

Wahai Musafir sekali lagi dengarkanlah Nabimu pernah berkata: “Doa itu pedangnya orang mukmin, tiang agama, serta cahaya langit dan bumi.” (H.R. Al Hakim dari Ali bin Abi Thalib)

Demikianlah engkau melihat bahwa berdoa mirip dengan seni menggunakan pedang. Pedang yang tajam itulah jelas penting. Tapi yang jauh lebih penting adalah orang yang memegang pedang itu. Maka pedang yang tajam, yang tergenggam kuat dalam tangan dingin seorang pemberani, yang digunakan pada waktu dan sasaran yang tepat, itulah yang akan mematikan musuh. Tapi jika ada salah satu unsur dari doa itu yang tidak efektif, maka selamanya doa itu tidak akan menghasilkan pengaruh apa-apa.

Sekarang, apakah engkau sudah menguasai seni menggunakan pedang yang bernama doa?

—-

Diringkas dari:

Sepanjang Hari Bersama Allah (Seni Berdoa)

M. Anis Matta, Penerbit Al Manar, 1998

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *