Menghindari Sifat Bakhil (1)

Membiasakan Berkorban Agar Tidak Jadi Korban

oleh : Dr. Azhami S.

Yaa ayyuhalladziina aamanuu anfiquu mimmaa rozaqnaakum min qobli anya`tiya yaumul la bai’un fiihi walaa khullatun walaa syafaa’ah. Walkaafiruuna humuzh zhoolimuun.

Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa’at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang dholim. (QS. 2:254).

Pada ayat sebelumnya, Allah SWT menutupnya dengan menjelaskan tentang bahaya yang ditimbulkan jika suatu ummat tidak bersatu, yaitu akan menyebabkan terjadinya pertempuran dan pertumpahan darah. Agar pertumpahan darah seperti itu tidak terjadi, maka Allah SWT menekankan pentingnya kesamaan ‘aqidah pada masyarakat. Dengan kata lain, kita harus beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar, agar ketenteraman senantiasa kita dapatkan.

Oleh karena itu pada awal ayat ini Allah SWT memanggil kita dengan panggilan Yaa ayyuhalladziina aamanuu (Hai orang-orang yang beriman). Kenapa Allah memanggil kita demikian? Karena hanya dengan imanlah orang akan patuh kepada Allah SWT. Panggilan seperti ini adalah nidaa’un habiib (panggilan yang sangat mesra). Ketika kita membaca dalam Al-Qur’an menjumpai ayat yang diawali dengan kalimat Yaa ayyuhalladziina aamanuu (Hai orang-orang yang beriman), berarti kita dipanggil Allah dengan panggilan yang paling mulia dalam kehidupan kita. Ini menunjukkan bahwa Allah menyayangi kita karena keimanan kita, bukan karena hal yang lainnya.

Membicarakan tentang masalah keimanan adalah membicarakan tentang sesuatu yang sejuk. Sebaliknya, suasana akan menjadi gersang jika kehidupan yang dijalankan seseorang telah jauh dari nilai-nilai keimanan, baik yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga, dalam kehidupan bermasyarakat, dalam dunia pendidikan, maupun pada bagian kehidupan yang lainnya. Inilah munasabah (korelasi) antara ayat ini dengan ayat sebelumnya.

Pada penggalan selanjutnya Allah memerintahkan orang yang beriman anfiquu mimmaa rozaqnaakum (belanjakanlah di jalan Allah sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu). Kita sadar bahwa pada dasarnya kita tidak memiliki apapun di dunia ini dengan pemilikan yang hakiki. Semua yang ada pada kita merupakan amanat yang diberikan oleh Allah SWT kepada kita. Dan dalam masalah harta benda yang ada pada kita, Allah SWT sebagai pemilik yang hakiki dari harta benda tersebut memerintahkan kepada kita untuk mentransfer sebagian rizki yang kita terima kepada orang yang berhak menerimanya. Sebagai makhluk yang mengemban amanah atas harta benda tersebut, tidak sepantasnyalah kalau kita terlalu sayang pada harta benda tersebut, sehingga kita enggan melaksanakan perintah Allah untuk berinfaq ini. Ini artinya, jangan sampai kita memiliki sifat bakhil. Kenapa? Karena pada dasarnya rizki yang ada pada kita adalah pemberian Allah SWT.

Rizqi yang Allah SWT perintahkan kepada kita untuk kita infaqkan sebagiannya, Allah redaksikan dengan menggunakan kalimat rozaqnaakum (rizki yang Kami berikan kepada kamu). Penggunaan redaksi ini menunjukkan bahwa rizki yang kita terima bukan semata-mata karena usaha kita, akan tetapi karena Allah SWT memberikannya kepada kita. Walaupun kita berusaha dengan sekuat kemampuan kita untuk mendapatkan rizqi, namun kalau Allah SWT tidak memberikannya kepada kita, niscaya kita tidak akan bisa mendapatkannya. Dalam realita kehidupan yang ada di masyarakat, banyak kita saksikan orang yang berusaha mati-matian dalam mencari rizki, akan tetapi karena Allah belum memberinya ia tidak juga mendapatkan apa yang diusahakannya. Sebaliknya, ada anak yang baru dilahirkan kemudian ditinggal mati oleh kedua orang tuanya sehingga menjadi anak yatim piatu, namun Allah tetap memberinya rizki. Sekalipun orang tua yang meninggalkan anak tersebut bukan orang yang kaya, namun kita banyak menjumpai anak-anak yang bernasib seperti ini malah menjadi orang yang kaya raya. Inilah bukti bahwa apa pun yang kita miliki, semuanya adalah rizki pemberian Allah SWT.

Ketika kita telah memahami bahwa rizki yang ada pada kita adalah pemberian Allah, mengapa kita terlalu sayang pada harta kita sehingga enggan untuk melaksanakan perintah Allah untuk berinfaq di jalannya ? Dan bukan hanya harta kita, akan tetapi waktu kita, ilmu kita, dan bahkan nyawa kita pun harus kita infaqkan di jalan Allah, karena semuanya pada dasarnya bukanlah milik kita, tetapi milik Allah SWT. Allah berfirman:

Alladziina idzaa ashoobathum mushiibatun qooluu innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (semua berasal dari Allah dan semua akan kembali kepada Allah). (QS. 2:156).

Kenapa manusia sampai terkena penyakit bakhil? Sikap ini timbul karena takut hartanya akan habis jika diinfaqkan. Padahal Allah SWT sayang kepada kita, sehingga kalau harta benda kita infaqkan, tidak akan habis. Tidak ada orang yang menjadi miskin karena berinfaq. Oleh karena itu jangan sampai kita terjatuh pada sifat bakhil. Min khosho’isul mujtama’ul Islami (diantara ciri khas dan keistimewaan masyarakat Islam) adalah mujtama’ul tadlhiyah, mujtama’ul infaq (masyarakat yang selalu berkorban dan masyarakat yang selalu berinfaq di jalan Allah). Anggaran belanjanya ummat Islam adalah apa yang ada pada kantongnya anggota masyarakat Islam itu sendiri. Kalau ada organisasi Islam yang senang mengandalkan musa’adah (bantuan) dari pihak lain apalagi dari pemerintah, organisasi itu tidak akan mendapatkan kemerdekaan, tidak akan mendapatkan istiqlaliyah, sehingga tidak akan berani memperjuangkan kebenaran Islam. Kenapa ? Karena takut kehilangan bantuan jika memperjuangkan kebenaran tersebut.

Pada dasarnya semua ajaran Allah saling kait mengkait antara satu bagian dengan bagian yang lainnya. Dan diantara ajaran Islam adalah bahwa Islam mengajarkan kepada kita tentang kemerdekaan (istiqlaliyah). Ini artinya jangan sampai kita melakukan suatu perbuatan yang pada akhirnya akan mengurangi atau bahkan menghilangkan kemerdekaan yang kita miliki. Misalnya, jika ada suatu lembaga yang dibantu oleh pihak tertentu yang tidak memperjuangkan Islam, pihak yang dibantu pasti akan merasa berhutang budi kepada yang membantu. Karena pihak yang membantu tidak senang memperjuangkan ketinggian kalimat Islam, maka menyebabkan pihak yang dibantu menjadi serba salah jika akan memperjuangkan kalimat Islam. Pada akhirnya pihak yang dibantu akan mengorbankan kepentingan Islam, karena lebih mementingkan kelangsungan hidup lembaga yang diurusnya. Meraka tidak akan berani mengatakan kebenaran karena takut lembaganya ditutup. Lembaga seperti ini nama Islamnya saja yang masih ada, akan tetapi esensi Islamnya sudah hilang.

Oleh karena itu jangan sampai ada lembaga Islam yang senang menerima bantuan dari suatu pihak yang tidak jelas nilai-nilai Islam yang dipegangnya. Dan kita ummat Islam harus menjaga kemandirian lembaga-lembaga yang kita miliki dengan cara menginfaqkan sebagian rizki yang diberikan Allah kepada kita, sehingga tidak ada lembaga kita yang enggan untuk memperjuangkan tegaknya Islam di masyarakat. Inilah yang dimaksudkan bahwa infaq merupakan ciri khas daripada sebuah masyarakat Islam.

Kalau ummat Islam tidak pandai berkorban dengan apa yang ada padanya, maka mereka akan menjadi korban orang lain. Kita sebagai bangsa yang besar ini ketika dilanda krisis ekonomi, siapa yang pertama kali menjadi korban ? Yang pertama kali terkena dampaknya adalah kaum muslimin. Hal itu terjadi karena keengganan ummat Islam selama ini untuk berkorban demi tegaknya Islam. Oleh karena itu, pengorbanan dalam Islam merupakan sebuah keniscayaan. Sebelum kita di’adzab oleh Allah SWT di akherat karena keengganan kita untuk berkorban, di dunia ini pun kita sudah menerima azab karena kita menjadi korban orang lain. Harga diri kita diinjak-injak oleh orang-orang kafir yang seharusnya tidak boleh menginjak-injak kita. Jika kita tidak mau keadaan ini berlangsung terus, maka kita harus mau berkorban, yang dalam hal ini adalah berinfaq di jalan Allah SWT. Dengan kebiasaan berinfaq, maka masyarakat kita akan mempunyai sebuah kekuatan. Oleh karena itu ketika Allah SWT menyebut tentang jihad dalam AL-Qur’an, selalu dikatakan bi amwalihim wa anfusihim (dengan harta dan jiwa) . Misalnya dalam firman Allah SWT:

Tu`minuuna billaahi wa rosuulihi wa tujaahiduuna fii sabiililahi bi amwaalikum wa anfusikum, dzaalika khoirul lakum inkuntum ta’lamuun

(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya (QS. 61:11).

Oleh karena itu semenjak dini anak kita harus kita latih untuk senantiasa berinfaq. Kalau anak kita ajak ke Masjid, kita berikan kepadanya uang untuk dimasukkan dalam kotak yang ada di Masjid, agar ia terbiasa berinfaq, sehingga kalau anak kita ditakdirkan Allah menjadi orang yang kaya, anak kita terbiasa untuk berinfaq. Kita pun harus membiasakan diri untuk berinfaq, sehingga infaq bisa mengkultur dalam diri kita. Dengan demikian, kita terhindar dari penyakit bukhl, terhindar dari penyakit syuh. Kalau ada orang yang tertimpa penyakit syuh, ia tidak akan bisa bahagia dalam hidupnya. Kebahagiaan akan kita raih jika kita mampu menjinakkan menyakit syuh (kikir) ini. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

Walladziina tabawwa-uddaaro wal iimaana min qoblihim yuhibbuuna man haajaro ilaihim walaa yajiduuna fii shuduurihim haajatan mimmaa uutuu wa yu`tsiruuna ‘alaa anfusihim walau kaana bihim khoshooshoh, wa man yuuqo syuhha nafsihi fa ulaa-ika humul muflihuun

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. 59:9).

Generasi yang dibina oleh Rasulullah SAW adalah generasi yang senantiasa membiasakan diri berinfaq. Abu Bakar misalnya, menginfaqkan seluruh harta bendanya untuk keperluan perang Tabuk. Umar bin Khothob juga menginfakkan setengah harta yang dimilikinya. Utsman bin Affan menginfaqkan sekian banyak onta beserta barang dagangan yang ada di atasnya, yang kalau dinilai dengan uang sekarang entah berapa milyar atau bahkan sampai trilyunan. Dan kebiasaan para shohabat seperti ini bukan kebetulan, akan tetapi memang demikianlah perangai para shohabat Rasulullah SAW.

Incoming search terms:

  • cara menghindari sifat bakhil
  • cara menghindari bakhil

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *