Mentadabburi Ayat Kursi (1)

oleh : DR. Azhami S.J.

Kebesaran Allah

Allah tidak ada Ilah melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. 2:255).

Sebagaimana kita ketahui bahwa ayat ini terkenal dengan nama Ayat Kursi, karena satu-satunya ayat dalam Al-Qur’an yang di dalamnya ada kata Al-kursi, hanya pada ayat ini. Perlu dipahami, ayat ini memuat sifat-sifat Allah SWT. Dan setiap sifat Allah SWT yang ada pada ayat ini atau pada ayat-ayat lainnya dalam Al-Qur’an, semuanya memberikan pemahaman tentang wahdaniyatullah (ke-Esaan Allah SWT).

Ayat kursi ini dimulai dengan lafadz Allah atau ladzful jalaalah, tidak dimulai dengan lafadz lain seperti huwa atau robbukum, atau ar-rohman, atau ar-rohim atau yang lainnya. Ketika kita ingin menerangkan sesuatu, maka kita harus terlebih dahulu mengenal namanya, karena nama itulah yang membedakan antara yang mempunyai nama dengan yang lainnya. Apalagi kalau nama itu tidak dimiliki kecuali yang mempunyai nama itu, yang dalam hal ini adalah Allah SWT. Ketika sebuah nama, dimana nama adalah merupakan sebuah wasilah (sarana) untuk memberi pemahaman yang jelas dan nama ini tidak dimiliki oleh yang lainnya, maka inilah cara yang terbaik (aqrobu thooriqiin) untuk memahamkan siapa sebenarnya Allah itu. Inilah rahasianya dimulai dengan kata-kata Allah atau ladzful jalaalah tidak dengan kata yang lainnya, karena memang lafadz Allah ini adalah khusus untuk Allah SWT.

Jadi lafadz Allah ini adalah al-ismu mutafarriq, artinya nama yang hanya dimiliki Allah SWT saja. Oleh karena itu dalam ajaran Islam tidak diperbolehkan orang mempunyai nama Allah atau nama Ar-Rohman, tetapi harus diberi lafadz ‘Abd sehingga menjadi Abdullah atau Abdurrohman. Ini berbeda dengan sifat-sifat Allah yang lainnya seperti Roqqib, Hafidz, dan lain sebagainya, yang boleh dipergunakan langsung untuk nama manusia.

Sifat atau nama Allah yang diterangkan dalam Al-Qur’anul Karim atau al-hadits melalui Rasulullah SAW adalah satu-satunya cara yang benar untuk mengenal Allah (ma’rifatullah). Ketika ada manusia yang berusaha mengenal Allah tetapi bukan dengan cara yang ditentukan Allah dan RasulNya, artinya bukan dengan cara bagaimana Allah mengenalkan dirinya sendiri kepada hambanya, ketika itulah ia tidak akan bisa mengenal Allah dengan benar. Cara mengenal Allah seperti yang dilakukan oleh para falasifah (filosof) atau para mutakallimin, yang berusaha mengenal Allah dengan pendekatan ilmu kalam atau filsafat, akan mengakibatkan kesalahan dalam memahami tentang esensi Allah SWT.

Allah adalah (tidak ada Ilah melainkan Dia). Pertama kita dikenalkan dengan ma’rifatullah, yaitu bahwa Allah adalah Ilah yang tidak ada Ilah selain Dia. Karena Ilah ini bermuara pada bentuk penyembahan dan pengabdian, berarti seluruh bentuk penyembahan, seluruh bentuk pengabdian yang dialamatkan kepada selain Allah, adalah sebuah kesesatan. Inilah yang dikatakan bahwa setiap sifat yang diterangkan dalam Al-Qur’an menunjukkan wahdaniyyatullah (ke-Esa-an Allah SWT). Allah Esa dalam Uluhiyahnya (ketuhanannya). Dengan demikian dalam kehidupan manusia, hanya mengenal Allah yang wajib disembah.

Ketika ada bentuk pengabdian yang keluar dari esensi ini, maka itulah awal dari sebuah kesesatan yang besar, seperti sesatnya pemeluk agama Nasrani atau Kristen setelah meninggalnya Isa a.s. Ketika Isa a.s. masih hidup, mereka masih taat pada risalah yang dibawa Isa a.s. Akan tetapi begitu Nabi Isa meninggal, timbullah kepercayaan yang disebut at-attatslits (trinitas). Semua ini berangkat dari kesalahan dalam memahami esensi tentang ketuhanan. Demikian juga dengan agama-agama Yunani kuno dan Suryani kuno, dimana mereka juga salah karena tidak berangkat dari cara yang telah ditentukan Allah dan RasulNya ketika ingin memahaminya. Akhirnya, mereka menganggap bintang-bintang sebagi tuhannya, sehingga tuhannya banyak.

Jadi yang perlu kita pahami ketika kita ingin mengenal Allah adalah bahwa yang pertama kali Allah adalah Ilah yang tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia. Pemahaman ini disebut dengan Tauhidul Uluhiyah (mengesakan dalam penghambaan diri kepada Allah SWT). Untuk menerangkan bahwa hanya Allah-lah yang berhak disembah, Allah tidak sekedar memberikan doktrin, akan tetapi Allah juga menjelaskannya dengan rasionalitas yang dimiliki manusia. Alasan bahwa hanya Allah-lah yang berhak disembah adalah :

Pertama, Salah satu sifat Allah adalah al-hay (yang Hidup). Yang dimaksud hidup di sini adalah bahwa hanya Allah-lah yang kekal hidupnya, dan hidupnya Allah tidak tergantung pada yang lainnya. Artinya Dzat-nya Allah itu memang hay (hidup). Hidupnya Allah ini berbeda dengan hidupnya makhluk. Manusia hidup, akan tetapi manusia tidak bisa hidup dengan dirinya sendiri tanpa memerlukan yang lainnya. Manusia hidup karena manusia ada yang menghidupkan. Artinya, keberadaan kita di dunia ini membutuhkan yang lainnya, seperti membutuhkan orang tua kita untuk melahirkan kita. Dan orang tua kita juga membutuhkan yang lain juga.

Kata hay dalam bahasa Arab artinya adalah man qoomat bihil hayaatu (dzat, dimana kehidupan bisa berdiri, bisa tegak hanya karena dia. Tanpa dia, kehidupan tidak akan ada). Jadi kalau disebut bahwa manusia itu hidup, binatang itu hidup, tumbuhan itu hidup, semua itu sebenarnya hanya sekedar hidup dalam arti majazi (kiasan), bukan dalam arti yang sebenarnya. Hidup yang sebenarnya adalah hidupnya Allah SWT. Sebagian ahli tafsir mengartikan al-hay ini sebagai ‘Yang Kekal’. Karena hanya Allah-lah yang hidup dalam arti yang sebenarnya, sudah sewajarnyalah kalau hanya Allah yang patut disembah.

Kalau ada manusia yang menyembah selain Allah seperti menyembah bintang, ketahuilah bahwa bintang akan hancur. Kalau ada manusia yang menyembah berhala, berhala juga mati yang laa yadlurru walaa yanfa’ (tidak bisa memberi kemudlorotan dan tidak bisa memberi manfaat). Kalau ada orang yang menjadikan undang-undang sebagai tuhannya sehingga ia takut pada undang-undang itu, ketahuilah bahwa undang-undang itu bisa berubah, yang artinya mati juga. Kalau ada manusia yang mengabdi dan menyembah pemimpinnya, pemimpinnya itu juga akan mati. Di jaman orang tua kita, ada seorang pemimpin yang namanya Sukarno yang disanjung-sanjung oleh rakyatnya, sehingga sampai ada kata-kata “Pejah gesang ndherek Bung Karno (hidup mati ikut bung Karno)”. Ini merupakan bentuk dari sebuah pengabdian. Dan orang yang mengatakan seperti ini telah terjatuh kepada kesyirikan, karena bagi seorang muslim, hidup mati hanya mengikuti Allah SWT. Allah berfirman : Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, (QS. 6:162).

Ironisnya, sekarang ini ‘aqidah jahiliyah yang pernah meracuni orang-orang tua kita dahulu itu berusaha dihidupkan lagi, sehingga sekarang ini sudah ada orang yang berkata “Pajeh gesang nderek mbak Mega (hidup mati ikut mbak Mega)”. Sebagaimana al-haq yang diperjuangkan Rasulullah SAW diteruskan pengikut-pengikutnya, wakadzlikal jahiliyah (demikian pula jahiliyah) yang juga akan diteruskan para pengikutnya. Inilah artinya bahwa as-siro’ bainal haqqi wal bathil mustamirr (peperangan antara haq dan bathil itu tidak pernah berhenti).

Jadi sudah sewajarnya kalau hanya Allah yang kita sembah, karena hanya Dia-lah yang hidup dalam arti sebenarnya. Dan seorang muslim itu hidupnya robbani, dimana dalam seluruh segi kehidupannya dikembalikan kepada Allah SWT semata, karena ia tahu bahwa hanya Allahlah yang hidup. Barangsiapa yang dalam kehidupannya tidak dikembalikan kepada Allah semata, maka dia akan hina. Barangsiapa yang ingin memiliki kejayaan namun kejayaan yang bukan berasal dari Allah, maka ia akan hina. Barangsiapa yang ingin mendapatkan kekayaan namun bukan dengan cara yang ditentukan Allah, maka ia akan fakir.

Kedua, alasan yang mengantarkan pada kesimpulan bahwa hanya Allah-lah yang patut disembah adalah karena Allah selanjutnya mempunyai sifat Al-Qoyyuum. Lafadz Al-Qoyyum ini mengikuti wazan fai’ul dari lafadz qooma-yaquumu. Wazan fai’ul ini adalah wazan mubalaghoh. Dari segi bahasa pada umumnya, kalau dari lafadz qooma-yaquumu, maka isim fa’ilnya adalah qoo’imun. Ketika dikatakan qoyyum yang aslinya adalah qoyiwuun, namun kemudian ya’-nya dijadikan dua (syiddah), karena ketemunya ya’ dengan wawu itu repot, sehingga dibaca qoyyum, itu menunjukkan mubalaghoh. Al-Qoyyum diterjemahkan dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai ‘Yang mengatur urusan makhluknya’, dengan sebenar-benarnya mengatur (lil mubalaghoh).

Ketika kita memahami sifat-sifat Allah, perlu kita tekankan bahwa pemahaman sifat-sifat Allah sebagai sebuah aqidah, tidak bisa hanya dianggap sebuah keyakinan saja yang pasif, akan tetapi harus dipahami bahwa sifat-sifat Allah yang merupakan kaedah-kaedah dari sebuah persepsi Islam yang benar ini adalah sesuatu yang aktif yang harus kita terjemahkan dalam realita kehidupan sehari-hari. Artinya, seluruh kehidupan kita harus bermuara pada sifat-sifat Allah SWT. Kalau salah satu sifat Allah adalah Al-Qoyyum (yang mengatur dan mengurusi seluruh makhluk termasuk manusia), berarti dalam mengurus seluruh urusannya, tidak ada satu pun urusan yang boleh menyimpang dari ketentuan Allah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *