Mentadabburi Ayat Kursi (3)

oleh : DR. Azhami S.J.

Hanya Mengabdi Pada Allah

Pada pembahasan sebelumnya kita telah memahami bahwa ketika Allah menerangkan kepada kita tentang beberapa sifatNya yang merupakan ‘aqidah yang harus kita yakini, sifat Allah tersebut jangan sampai hanya dipahami sebagai suatu ‘aqidah secara salbiyah (secara pasif) saja, akan tetapi aqidah ini harus mengkristal dalam diri setiap muslim dan harus diaplikasikan dalam praktek kehidupan. Misalnya, jangan sampai kita memahami bahwa Allah Maha ‘Alim (Maha Mengetahui), akan tetapi kita tidak mau mengikuti ajaran Allah. Kalau demikian maka kita telah membohongi pemahaman kita sendiri.

Manusia adalah bagian kecil dari kosmos jagad raya ciptaan Allah yang besar. Kalau makhluk-makhluk Allah yang lainnya yang besar seperti langit, bumi dan sebagainya, semuanya tunduk kepada aturan Allah SWT, sementara kita yang merupakan bagian darinya tidak mau taat kepada aturan Allah, berarti kita telah menyimpang dari nidhomun namus (menyimpang dari ketentuan Allah yang berlaku di jagad raya ini). Dan ketika kita bersimpangan dengan aturan Allah yang ada di jagad raya ini, maka akan terjadi tasaddum (akan terjadi tabrakan-tabrakan) dalam diri kita sendiri, yang pada akhirnya akan menimbulkan banyak masalah yang merepotkan kita.

Misalnya ketika sebagian anggota masyarakat menjerit karena terkena krisis ekonomi, sebagian lainnya menghambur-hamburkan sekian milyar untuk masalah yang mubadzir. Ini adalah contoh kecil yang menegaskan bagaimana sebuah masyarakat yang bertabrakan dengan realita kehidupannya sendiri. Jadi ketika manusia tidak mau mengikuti ajaran Allah, siksa Allah bukan hanya di akherat saja, akan tetapi di dunia pun dia sudah tersiksa. Dan penderitaan di dunia ini tidak akan berakhir kecuali kalau kita kembali kepada ajaran Allah SWT.

Penggalan ayat yang berbunyi (Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi) ini dari segi balaghoh (bahasa) terdapat lil hasr, yaitu pada lafadz lahu. Dalam bahasa Arab, lahu ae lillahi wahdah laa bighoirihi. Artinya, apa saja yang ada di langit dan apa pun yang ada di bumi hanyalah milik Allah SWT. Jadi Allah adalah Al-Malik al muthlaq. Dan sekali lagi ini merupakan wujud dari wahdaniyatullah (ke-Esa-an Allah SWT).

Dari sini bisa kita pahami bahwa kepemilikan manusia atas sesuatu, pada dasarnya adalah kepemilikan secara kinayah saja, bukan kepemilikan dalam arti yang sebenarnya. Kepemilikan orang tua atas anaknya, bukan kepemilikan yang mutlak. Suatu saat anaknya akan diambil oleh Allah SWT, sebagai pemilik yang sebenarnya. Demikian juga kepemilikan manusia atas hal-hal yang lainnya. Yang mempunyai hak kepemilikan dalam arti yang sebenarnya hanyalah Allah SWT. Inilah yang disebut dengan tauhidullah yang mutlak.

Sebagai aplikasinya dalam kehidupan kita sehari-hari, misalnya ketika kita mempunyai ilmu jangan sampai kita menjadi silau karenanya, karena pada dasarnya ilmu yang kita miliki bukan ilmu yang mutlak. Kita bisa memiliki ilmu itu karena orang lain mengajarkannya kepada kita. Ini berbeda dengan ilmu Allah SWT yang bersifat mutlak. Allah mempunyai ilmu yang tidak membutuhkan bantuan yang lainnya. Kalau kita perhatikan sejarah ummat manusia dari dulu sampai kiyamat, tidak ada seorang pun yang mempunyai ilmu, tidak ada seorang pun menjadi  ‘alim, tanpa seorang guru yang mengajarkan ‘ilmu tersebut kepadanya. Tidak ada orang berilmu tanpa membutuhkan buku, tanpa membutuhkan lingkungan dan sebagainya. Oleh karena itu manusia tidak bisa disebut al-’alim secara mutlak.

Jadi walaupun ada diantara manusia yang diberikan gelar sebagai orang yang ‘alim, baik ‘alim dalam ‘ulumul syar’iyyah maupun ‘alim dalam ilmu apapun, jangan sampai menjadikannya lupa diri. Semakin bertambah ilmu yang kita miliki, seharusnya semakin membuat kita merasa tawadlu’ dan tunduk kepada Allah SWT, karena kita semakin tahu betapa luasnya ‘ilmu yang Allah miliki. Semakin ‘alim seseorang, semakin tahulah dia bahwa ternyata banyak sekali hal-hal yang tidak diketahuinya. Ini berbeda dengan orang yang ilmunya setengah-setengah, yang ketika belajar sedikit saja sudah merasa paling pandai. Na’udzubillah.

Allah SWT mempersiapkan manusia untuk bisa mempunyai ilmu sebanyak mungkin. Bahkan setiap saat Allah akan menunjukkan ilmu-ilmuNya yang belum diketahui oleh hambaNya. Namun kita harus tetap menyadari bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang kecil. Sementara kekuasaan Allah, milik Allah adalah (apa yang di langit dan di bumi). Oleh karena itu jangan sampai ada yang mengatakan bahwa sekarang ini manusia sudah mencapai abad teknologi, sudah mencapai abad informasi dan lainnya, yang seolah-olah menempatkan manusia pada kedudukan yang tinggi sekali. Padahal semua yang dicapai manusia sebenarnya merupakan wujud dari janji Allah SWT, bahwa Dia akan memperlihatkan kepada manusia akan kebesaran kekuasaan Allah yang ada di jagad raya ini. Allah SWT berfirman : Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu benar. Dan apakah Rabbmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (QS. 41:53)

Oleh karena itu wajar jika setiap saat terdapat temuan-temuan baru yang berkaitan dengan ilmu dan teknologi. Yang perlu kita ingat adalah bahwa semua itu adalah milik Allah SWT. Jadi ilmu yang kita miliki jangan sampai kita klaim bahwa itu adalah ilmu kita, karena semua itu pada dasarnya adalah pemberian Allah SWT yang harus dizakati. Zakatnya ilmu adalah dengan mengajarkannya kepada orang lain. Ketika kita diberikan harta oleh Allah SWT, jangan sampai kita merasa bahwa harta itu seolah-olah milik kita secara mutlak. Ketika Allah mewajibkan zakat, ketika Allah mensyari’atkan infaq, marilah kita penuhi perintah Allah itu, karena harta yang kita keluarkan itu pada dasarnya adalah milik Allah SWT. Dengan demikian manusia akan selamat dari penyakit asy-syukh (pelit dan kikir). Inilah yang disebut dengan tauhidul mulkiyah (Allah Esa dalam kepemilikan).

Manusia diturunkan Allah ke muka bumi dengan mengemban tugas sebagai kholifah Allah. Allah berfirman : Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Rabb berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. 2:30)

Pada dasarnya seluruh potensi yang kita miliki adalah milik Allah SWT. Allah memberikan amanat kepada kita agar kita melaksanakan kewajiban kepemimpinan yang telah ditentukan olehNya. Kalau amanat itu berupa harta, maka harta itu harus kita gunakan sesuai dengan syari’at yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Kalau amanat itu berupa kekuasaan, maka kekuasaan itu harus kita gunakan sesuai dengan ketentuan Allah. Itulah arti daripada kholifah yang dimaksud dalam firman Allah di atas. Jadi ketika manusia ditunjuk Allah untuk menjadi kholifah, bukan berarti ia berhak untuk membuat hukum sendiri selain dari apa yang telah diajarkan Allah SWT. Sebagai kholifah, manusia  hanya bertugas mengamalkan ketentuan-ketentuan yang telah dikeluarkan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, adalah suatu kesalahan kalau ada orang yang berkata “Terserah bagaimana kata saya. Isteri, isteri saya. Anak, anak saya. Terserah saya saja bagaimana saya mendidiknya. Kamu dan siapa pun jangan ikut campur”. Prinsip yang seperti ini tidak dibenarkan ada dalam kehidupan ummat Islam. Kenapa ? Karena pada dasarnya kita tidak memiliki sesuatu dengan hakiki. Hatta itu isteri kita atau anak kita, mereka bukan milik kita secara mutlak. Yang memilikinya secara  mutlak hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu mereka harus kita perlakukan sebagaimana yang Allah kehendaki.

Oleh karena itu kalau kita terkena musibah, Allah mengajarkan kepada kita dengan ayatNya : (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. (QS. 2:156).

Jadi kita semua milik Allah dan kita akan kembali kepada Allah SWT. Barangsiapa yang tidak mengembalikan semua kepemilikan hanya kepada Allah, maka dia akan mengalami berbagai kekecewaan. Kekecewaan itu bukan hanya di akherat saja, di dunia pun dia akan kecewa. Ketika ada orang yang bergantung kepada thoghut, ketika thoghut itu jatuh, semua orang yang pernah dekat dengannya menyingkir semua. Oleh karena itu tempat kembali yang benar hanyalah kepada Allah SWT saja.

Kelima, alasan mengapa hanya Allah saja yang berhak disembah selanjutnya adalah (Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa idzin-Nya). Man di sini adalah ‘adatul istifham, akan tetapi istifham di sini diartikan lil ingkar. Kalau ada susunan bahasa Arab yang dita’birkan (diekspresikan) dengan istifham, fungsinya adalah itu untuk taukid (untuk menguatkan atau memberikan ketegasan). Artinya, di akherat nanti tidak ada makhluk yang berhak memberikan syafa’at kepada makhluk yang lain, kecuali makhluk yang telah mendapatkan idzin dari Allah SWT. Hatta Rasulullah SAW pun, sebenarnya tidak bisa memberikan syafa’at. Rasulullah SAW baru bisa memberikan syafa’at setelah mendapatkan idzin dari Allah SWT. Jadi pada hakekatnya yang bisa memberikan syafa’at hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu hanya kepada Allah-lah kita hendaknya mengabdi dengan ikhlas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *