Seberapa Dekatkah Kita Dengan Al Qur’an ?

Sadarkah kita bahwa Al Qur’an diturunkan oleh Allah kepada manusia agar menjadi sumber tazwid (pembekalan) peningkatan dan penyegaran ruhi, fikri dan minhaji ? Sehingga jika sehari kita jauh dari Al Qur’an berarti terputuslah dalam diri kita proses tazwid. Dan yang terjadi adalah proses tazwid dari selain wahyu Allah apakah dari televisi, koran, majalah dan lain sebagainya. Maka yang terjadi adalah ruh yang ringkih, keyakinan terhadap fikroh dan minhaj yang melemah, pada hal tiga unsur ini sesungguhnya menjadi sumber energi untuk berdakwah dan berharokah. Maka melemahlah semangat beramal soleh, hadir ta’lim, karena ta’lim merupakan pertemuan untuk komitmen beramal soleh.

Dapat dibayangkan bagaimana jadinya kalau proses Tazwid itu telah terputus sepekan, bahkan berbulan-bulan. Semoga Allah menjaga kita dari sikap menjadikan Al Qur’an sebagi sesuatu yang Mahjuron (ditinggalkan). Sesungguhnya ibadah tilawah satu juz ini sudah tertuntut kepada manusia sejak dia menjadi seorang muslim. Oleh karena itu, cukup banyak orang-orang yang tanpa tarbiyah atau halaqoh, namun memiliki komitmen tilawah satu juz tiap hari, sehingga setahun khatam 12 kali bahkan lebih karena saat bulan Ramadhan dapat khatam lebih sekali. Namun bagaimana dengan kita Ashhabul Harokah wadda’wah (penggerak & aktivis dakwah)? Sudahkah keislaman kita membentuk kesadaran Iltizam dengan ibadah ini? Kalau belum, dapat diyakini kendalanya adalah Do’ful himmah (Lemahnya kemauan) dan bukan karena kendala  tidak mampu melafalkan ayat-ayat Al Qur’an. Karena yang harus dibentuk bukan sebatas mampu baca, namun bagaimana membentuk kemampuan ini menjadi moralitas ta-abbud kepada Allah, sehingga menjadi proses tazwid yang berkesinambungan sesuai dengan jauhnya perjalanan dakwah ini.

Dari sini kita menjadi faham, ternyata tarbiyah adalah sebuah proses perjalanan yang beribu-ribu mil jauhnya. Entah berapa langkah yang sudah kita lakukan. Semoga belum mampunya kita iltizam dengan ibadah ini karena masih sedikitnya jarak yang kita tempuh. Jadi yakinlah, selama kita komitmen dengan proses tarbiyah dengan seizin Allah kita akan sampai kepada kemampuan ibadah ini. Dan sekali-kali janganlah kita menutupi ketidak mampuan kita dengan ibadah ini dengan berlindung dibawah waswas Syaithan dengan bahasa sibuk, tidak sempat, acara terlalu padat dan lain sebagainya yang kita yakin kondisi ini akan berlangsung sepanjang hidup kita. Apakah berarti sepanjang hidup kita, kita tidak melakukan ibadah ini hanya karena kondisi diatas yang tidak akan pernah berakhir selama hayat dikandung badan? Kita harus berpikir serius terhadap ibadah yang satu ini. Karena dia merupakan mentalitas ‘ubudiyah, disiplin, menambah tsaqofah. Apalagi ketika kita sudah memiliki kesadaran untuk membangun Islam dimuka bumi ini, maka kita harus menjadi batubata yang kuat dalam bangunan ini. Al Ustadz Asy Syahid Hasan Al Banna rahimahullah begitu yakinnya dengan sisi ini sehingga beliau menjadikan kemampuan membaca satu juz ini pada nomer urut pertama bagi seorang muslim yang terobsesi membangun masyarakat Islam. Dalam nasihatnya beliau mengatakan,

أَيُّهَا الأَخ الصَّادِقُ إِنَّ إِيمَانَكَ بِهَذِهِ البَيْعَةِ يَجِبُ عَلَيكَ أَدَاءَ هَذِهِ الوَاجِبَاتِ حَتَّى تَكُونَ لَبِنَةً قَوِيَّةً : أَنْ يَكُونَ لَكَ وِرْدٌ يَوْمِيٌّ مِنْ كِتَابِ اللهِ لاَ يَقِلُّ عَنْ جُزْءٍ وَاجْتَهِدْ أَلاَ تَخْتِم أَكْثَرُ مِنْ شَهْرٍ…

“Wahai Akh (saudara) yang militan, sesungguhnya imanmu dengan bai’at ini mengharuskan kamu melaksanakan kewajiban-kewajiban ini agar kamu menjadi batubata yang kuat: Kamu harus memiliki wirid harian tilawah Al Qur’an tidak kurang dari satu juz dan berusahalah jangan sampai khatam lebih dari satu bulan…”

Sebagaimana kita ketika melakukan hijrah dari kehidupan jahiliyah kepada kehidupan islamiyah, kita harus banyak menelan pil pahit selama proses tarbiyah. Maka ketika kita sudah berazam untuk meningkat kepada kehidupan yang ta’abbudi, maka kita harus kembali banyak menelan pil pahit tersebut. Kita harus sadar bahwa usia dakwah yang semakin dewasa, penyebaran yang semakin meluas, tantangan yang semakin variatif sangat membutuhkan manusia-manusia yang Labinatan Qowiyyatan. Hal itu kuncinya terdapat didalam berinteraksi dengan Al Qur’an.

Sebuah proses tarbiyyah yang semakin matang dengan indikasi hati dan jiwa yang semakin bersih secara otomatis menjadikan kebutuhan terhadap Al Qur’an semakin meningkat. Sejarah mencatat bahwa para sahabat dan salafussalih ketika mendengar Rasulullah SAW bersabda, “bacalah Al Qur’an dalam satu bulan”, maka begitu banyak para sahabat yang menyikapi instruksi Rasulullah SAW ini sebagai sesuatu yang minimal. Bayangkan dengan diri kita yang sering menganggap ibadah satu juz itu sesuatu yang maksimal. Sehingga yang minimal inipun masih sering terkurangi, bahkan tidak teramalkan dengan baik. Bagaimana mungkin kita mengulang kesuksesan para sahabat dalam membangun Islam ini jika kita tidak melakukan apa yang telah mereka lakukan, walaupun kita sadar bahwa ibadah satu juz ini bukan satu-satunya usaha didalam berdakwah. Namun kita harus sadar bahwa dakwah sangat memerlukan syumuliyyatul ‘amal (aktivitas yang integral).

Sebutlah Utsman Bin Affan, Abdullah Bin Amr bin ‘Ash, Abu hanifah, Assyfi’I radiyallahu Anhum adalah contoh-contoh orang-orang yang terbiasa menyelesaikan bacaan Al Qur’annya tiga hari sampai satu pekan. Karena bagi mereka sebulan merupakan pertemuan yang sangat minim dengan ayat-ayat Allah. Jadi jika seorang rutin setiap bulan khatam, berarti hanya sekali dalam sebulan, ia bertemu dengan surat Maryam misalnya. Bisa kita bayangkan jika kita kita berlama-lama dalam mengkhatamkan Al Qur’an, berarti kita akan sangat jarang bertemu dengan setiap surat dari Al Qur’an.

Kalau saja tarbiyyah qur’aniyyah kita telah matang, kita akan dapat merasakan bahwa sentuhan Tarbawi surat Al Baqoroh beda dengan surat Ali Imran. Begitu juga beda Annisa, Al Maidah dan seterusnya. Sehingga ketika seseorang sedang membaca Annisa, pasti dia merindukan Al Ma’idah. Inilah suasana tarbiyyah yang belum kita miliki yang harus dengan serius kita bangun dalam diri kita. Kita harus khawatir jangan sampai hidup ini berakhir dalam kondisi kita tidak serius melaksanakan ibadah satu juz ini. Sehingga hidup berakhir dengan kenangan penyesalan. Padahal sesungguhnya kita mampu kalau saja kita mau menambah sedikit Mujahadah dalam tarbiyyah ini.

Inilah kiat-kiat mujahadah untuk meraih kemampuan ibadah ini :

  1. Berusahalah melancarkan tilawah jika anda termasuk orang yang belum lancar bertilawah! Karena ukuran normal tilawah sau juz adalah 30-40 menit. Jika lebih dari itu, anda harus lebih giat berusaha melancarkan bacaan. Jika melihat durasi waktu diatas, sangat logis untuk dilakukan setiap hari dari dua puluh empat jam yang kita miliki. Masalahnya, bagaimana kita membangun kemauan untuk 40 menit bersama Allah, sementara kita sudah terbiasa 40 menit atau lebih bersama televisi, ngobrol dengan teman dan lain sebagainya.
  2. Aturlah dalam suatu kelompok pembinaan, kesepakatan bersama menciptakan komitmen ibadah satu juz ini! Misalnya, bagi anggota kelompok pembinaan yang selama sepekan kurang dari tujuh juz, maka saat bubar kelompok pembinaan akh yang bersangkutan tidak boleh pulang kecuali dia telah menyelesaikan sisa juz yang belum terbaca. Kiat ini terbukti lebih baik daripada dengan sanksi iqob yang terkadang hilang ruh Iqobnya dan menjadi pengganti tilawah dan tidak menghasilkan mujahadah yang berarti.
  3. Lakukanlah Qodo tilawah setiap kali program ini tidak berjalan! Misalnya, carilah tempat-tempat yang kondusif untuk konsentrasi bertilawah. Misalnya di masjid atau tempat yang baggin diri kita asing di lingkungan tersebut. Kondisi ini akan  menjadikan diri kita lebih konsentrasi sejenak untuk hidup dengan diri sendiri membangun tarbiyyah Qur’aniyyah didalam diri kita.
  4. Sering-seringlah mengadukan keinginan ini kepada Allah yang memiliki Al Qur’an ini. Pengaduan kita kepada Allah yang sering insya Allah menunjukkan kesungguhan kita dalam melaksanakan ibadah ini. Disinilah akan datang pertolongan Allah yang akan memudahkan pelaksanaan ibadah ini.
  5. Perbanyaklah amal soleh, karena setiap amal soleh akan menghasilkan energi baru untuk amal soleh berikutnya. Sebagaimana satu maksiat akan menghasilkan maksiat yang lain jika kita tidak segera bertaubat kepada Allah.

Jika kita saat ini sering berbicara tentang ri’ayah maknawiyyah, maka sesungguhnya pesan Imam Syahid ini cara meri’ayah maknawiyyah yang paling efektif dan dapat kita lakukan kapan saja dimana saja. Apalagi didalam momentum Ramadhan sebagai Syahrul Qur’an, maka ibadah ini tidak bisa ditawar-tawar lagi pelaksanaannya. Ditinjau dari segi apapun,ibadah ini harus dilakukan. Bagi yang yakin akan pahala Allah, maka tilawah Al Qur’an merupakan sumber pahala yang sangat besar. Bagi yang sedang berjihad, dimana dia membutuhkan tsabat, nashrullah, istiqomah, sabar dan lain sebagainya, Al Qur’anlah tempat meraih semua ini. Kita harus serius melihat kemampun tarbawi dan ta-abbudi ini, agar kita tergugah untuk bangkit dari kelemahan di sisi ini. Ada beberapa kendala yang harus kita waspadai agar kita dapat meraih ibadah ini :

  1. Perasaan menganggap sepele apabila sehari tidak membaca Al Qur’an, sehingga berdampak tidak ada keinginan untuk segera kembali kepada Al Qur’an.
  2. Lemahnya wawasan ber-Al Qur’an, sehingga tidak termotivasi untuk mujahadah istiqomah membaca Al Qur’an
  3. Tidak memiliki waktu wajib bersama Al Qur’an, namun terbiasa membaca Al Qur’an sesempatnya, sehingga ketika merasa tidak sempat ditinggallah Al Qur’an.
  4. Lemahnya keinginan untuk memiliki kemampuan ibadah ini sehingga otomatis tidak pernah berdo’a kepada Allah agar dimudahkan tilawah Al Qur’an setiap hari. Namun materi do’anya hanya berkisar kebutuhan keduniaan saja.
  5. Terbawa oleh lingkungan sekelilingnya yang tidak memiliki perhatian terhadap ibadah Al Qur’an ini, sehingga perlu kesadaranyang merata dikalangan aktivis dakwah. Dan Rasulullah bersabda, “Kualitas Dien seseorang sangat tergantung teman akrabnya. »
  6. Tidak tertarik dengan majlis-majlis yang menghidupkan Al Qur’an, Padahal menghidupkan majelis-majelis Al Qur’an adalah cara yang direkomendasikan oleh Rasulullah agar orang beriman memiliki gairah berinteraksi dengan Al Qur’an dalam sabdanya:

ما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون كتاب الله ويتدارسونه فيما بينهم إلا نزلت عليهم السكينة وغشيتهم الرحمة وحفتهم الملا ئكة وذكرهم الله فيمن عنده.

Dan jika kemampuan tilawah satu juz ini berlarut-larut tidak kunjung kita miliki, hanya karena kurang seriusnya kita, atau karena alasan-alasan karena lemahnya Himmah kita, maka ada beberapa hal yang sangat dikhawatirkan:

  1. Sedikitnya barokah dakwah atau amal jihadi kita, karena hal ini menjadi indikasi lemahnya hubungan seorang jundi pada Allah. Sehingga boleh jadi nampak berbagai macam produktivitas dakwah dan amal jihadi. Namun sangat dikhawatirkan keberhasilan-keberhasilan itu justru berdampak menjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
  2. Kemungkinan yang lain, bahkan lebih besar, adalah tertundanya pertolongan Allah SWT dalam amal jihadi ini. Kalau jihad salafusshalih tertunda kemenangannya hanya karena meninggalkan sunnah bersiwak, apalagi karena meninggalkan suatu amal yang bobotnya jauh lebih besar daripada bersiwak. Oleh karena itu, masalah berinteraksi dengan Al Qur’an selalu disinggung dalam ayat-ayat jihad, seperti surat Al Anfal dan Al Qital.
  3. Terjauhkannya sebuah asholah—orisinalitas— dakwah. Sejak awal dakwah ini dikumandangkan, semangatnya adalah dakwah bil qur’an. Bagaimana mungkin kita mengumandangkan dakwah bil Qur’an kalau interaksi kita lemah dengan Al Qur’an? Bahkan sampai tingkat interaksi yang paling minim, sekedar bertilawah satu juz.
  4. Terjauhkannya sebuah dakwah yang memiliki jawwul ‘ilmi (nuansa keilmuan). Hakikat dakwah adalah meningkatkan kualitas keilmuan ummat yang sumber utamanya dari Al Qur’an. Maka minimnya kita dengan pengetahuan keAl Qur’anan akan sangat berdampak pada lemahnya bobot ilmiyyah diniyyah kita. Dapat dibayangkan kalau saja setiap kader iltizam dengan manhaj tarbiyah yang sudah ada. Lebih khusus pada kader senior. Pasti kita akan melihat potret harokah dakwah ini jauh lebih cantik dan lebih ilmiyah.
  5. Terjauhkannya sebuah dakwah yang jauh dari asholatul manhaj. Bacalah semua kitab yang menjelaskan manhaj dakwah ini, Wa bil khusus kitab Majmu’aturrosail! Akan anda dapatkan begitu kental dakwah ini memberi perhatian terhadap interaksi dengan Al Qur’an. Tidakkah kita malu berintima’ pada dakwatul ikhwah, namun kondisi  kita jauh dari manhajnya?

Semoga kita tergugah dengan tulisan ini, agar lebih serius lagi melaksanakan poin pertama daripada waajibatul akh ini.

One thought on “Seberapa Dekatkah Kita Dengan Al Qur’an ?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *