Zaid bin Tsabit Sang Penghimpun Al Qur’an

34Anak laki-laki terus merengek supaya dapat lolos ikut perang Uhud. Ia bergerombol bersama anak-anak lain sebaya untuk mendekat ke hadapan Rasulullah SAW. Ia berharap jika pada perang Badar dirinya tak diijinkan Rasulullah ikut ke medan pertempuran—lantaran tubuhnya yang masih ringkih di usianya yang sebelas tahun itu—kali ini bisa dikabulkan.

Sayangnya, jarak antara perang Badar dan Uhud tak lebih dari setahun, sehingga umur Zaid bin Tsabit, bocah tersebut, tak beranjak dari angka 11. Modal yang ia miliki adalah iman dan keberanian menghadapi peperangan. Sementara dukungan dari orang tua dan keluarga besarnya begitu besar. Hanya saja Rasulullah tetap tak mengabulkan permintaan Zaid, sambil menjanjikan melibatkan dia, dan beberapa teman sepantarannya, pada masa mendatang.

Sambil menunggu masa-masa yang diharapkan itu tiba, Zaid terus memperdalam kandungan al-Quran. Ia benar-benar dekat dan tak putus menghafal al-Quran. Melalui tadabbur yang serius jadilah Zaid sebagai seorang belia yang kuat dan cerdas. Setiap kesempatan ia menuliskan firman-firman Allah SWT, karena itu pula ia dikenali sebagai pemuda yang lekat dengan al-Quran.

Zaid dan teman-teman seumuran dia baru diperkenankan ikut berjihad dalam perang Khandaq, tahun kelima pascahijrah. Senyumnya mengembang sesaat setelah Rasulullah mengiyakan keikutsertaannya dalam perang itu. Di medan pertempuran sendiri ia sangat terampil memainkan pedang hingga mampu menancapkannya pada jantung lawan-lawannya.

Dua karakter kuat itu—hafalan al-Quran dan ketangguhan fisiknya—menempatkan nama Zaid sebagai shahabat yang memiliki kedudukan tinggi di mata para shahabat lainnya. Ia sangat disegani dan dihormati.

Zaid muda selalu berupaya dan dekat dengan Rasulullah SAW, begitu cintanya hingga ia tak melewatkan wahyu demi wahyu yang dibacakan olehnya dalam lembaran-lembaran kulit binatang. Tak peduli di saat perang, di saat damai, Zaid tak melepaskan diri, dan menanti-nanti kabar wahyu yang akan disampaikan Rasulullah SAW.

Waktu terus berjalan, usia Zaid kian bertambah. Sementara hafalannya yang sungguh kuat, kemauannya yang keras dalam menuliskan wahyu, serta kecerdasannya dalam memahami ayat-ayat tersebut menempatkan namanya menjadi shahabat yang disegani oleh shahabat yang lain. Tak terkecuali shahabat-shahabat Nabi yang senior, mereka begitu mengakui kedalaman ilmu (al-Quran) Zaid bin Tsabit.

“Shahabat-shahabat terkemuka Rasulullah SAW tahu betul bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang dalam ilmunya,” komentar Ibnu Abbas. Saking menghormati seorang yang dekat dan dimuliakan oleh Rasulullah SAW itu, Ibnu Abbas segera memegang tali kekang kuda yang hendak dinaiki Zaid.

Zaidlah salah seorang shahabat yang paling dekat dan paling sering berinteraksi dengan al-Quran. Ia sangat teliti akan pekerjaaan—menghafal dan menuliskannya—menjadi kumpulan wahyu yang diperlakukannya dengan istimewa. Namanya setara dengan penghafal dan pencatat al-Quran yang lain seperti Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Muaz bin Jabal, serta Abdullah bin Abbas.

Ayat-ayat yang turun secara berangsur-angsur selama sekira dua dasawarsa itu telah mencatatkan nama Zaid sebagai penjaganya (al-hafidz). Di detik-detik terakhir Rasulullah SAW sebelum mangkat, beliau berulang kali menitahkan Zaid beserta para pengabadi wahyu Ilahi untuk menertibkan susunan ayat-ayat menjadi surat-surat yang rapi, meski belum terkumpul dalam satu kitab induk. Dari sekian penghafal dan penulis wahyu, Zaidlah yang mendapat giliran terakhir membacakan al-Quran di hadapan Rasulullah SAW.

Hingga setelah masa kerasulan selesai terhimpunlah al-Quran secara sempurna, murni tanpa campur kalam-kalam selain Allah SWT. Rasulullah SAW wafat, dengan pengaruh Islam yang meluas, tidak berarti kaum Muslimin bebas dari peperangan, baik dari kalangan munafik, musyrik, serta kuffar. Kerugian di bidang pelestarian al-Quran terjadi selama perang Yamamah—perang melawan kaum murtad—berkecamuk, di masa khilafah dipimpin Abu Bakar.

Puluhan penghafal al-Quran syahid, hingga peristiwa ini membuat Umar bin Khattab kalut dan cemas. Ia segera menemui Abu Bakar dan segera memanggil Zaid yang ikut berperang. Dalam perbincangan tiga pasang mata itu terjadi perbedaan pendapat tentang upaya penghimpunan al-Quran dalam satu kitab.

Umar yang telah meyakinkan urgensi penghimpunan al-Quran, yang kemudian diterima Abu Bakar, mulanya tidak mendapat respon positif dari Zaid karena ia melihat Rasulullah tidak melakukan hal demikian. Akhirnya, dengan pertimbangan kemaslahatan umat dan masa depan Islam, Zaid pun setuju atas penghimpunannya.

Zaid lalu mengumpulkan beberapa huffadz dan qarri yang masih selamat. Kumpulan tulisan al-Quran yang sebagian besar dikumpulkan secara rapi oleh Hafshah binti Umar diambil dan disusun dengan teliti dan ekstra hati-hati.

Hingga akhirnya, melalui kesungguhan Zaid dan shahabat lain, al-Quran terhimpun secara sempurna. Allahu Akbar!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *