Memaknai Tahun Baru Islam

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Yunus :5)

Maha Benar Allah dengan segala perkataan-Nya. Siang berganti malam, bulan berganti bulan, kita pun telah sampai di tahun yang baru yang ditandai dengan sampainya kita kepada bulan Muharram 1434H. Yang terpenting bagi kita adalah bukan hura-hura, pesta kembang api, bukan pula seremonial pengajian memperingati tahun baru. Yang paling penting adalah bagaimana kita bisa memaknai tahun baru, sehingga kita tergolong sang muhajir, yakni orang yang hijrah dari apa-apa yang dilarang Allah “Al-Muhajiru man hajara maa nahallahu ‘anhu” (HR Bukhari)

 

Fragmen-fragmen sejarah yang berkaitan dengan tahun hijriyah.

Fragmen ke-1  : Asal Muasal Penanggalan

Kita mengenal sistem penanggalan Masehi (diambil dari gelar Nabi Isa, yakni Al-Masih/Arab atau Messiah/Ibrani/Hebrew) yang diperkenalkan golongan Nasrani. Bangsa Jepang memiliki sistem penanggalan “Tahun Samura”, yang mengandung unsur pemujaan terhadap dewa matahari Amaterasu O Mi Kami. Tahun Samura dimulai tanggal 11 Februari 660 M, yakni tanggal kenaikan Raja Jimmu Tenno sebagai Kaisar Jepang yang dianggap sebagai keturunan dewa matahari. Di Jawa dikenal juga Tahun Saka yang dikaitkan dengan hikayat Raja Aji Saka. Konon Aji Saka adalah raja keturunan dewa yang datang dari India untuk menetap di Jawa.

Berbeda dengan sistem penanggalan di atas, di mana semuanya berkaitan dengan figur seseorang, maka ummat ini di dalam sistem penanggalannya tidak menggunakan tahun kelahiran Nabi Muhammad saw., tidak juga menisbahkan kepada nama-nama Khalifah sesudahnya. Imam Asy-Sya’bi berkata,”Abu Musa Al-Asy’ari Ra. menulis kepada Umar bin Khattab ra. : “Telah datang kepada kami surat-surat dari Amirul Mukminin yang tidak bertanggal. Maka Umar ra. mengumpulkan  orang-orang untuk bermusyawarah. Sebagian berkata, “Berilah tanggal berdasarkan kenabian Nabi Muhammad saw”. Yang lain berkata, “Kita beri tanggal dari hijrahnya Nabi” , Maka Umar ra. berkata, “Benar kita beri tanggal berdasarkan hijrahnya Nabi Muhammad saw. ke Madinah karena hijrahnya Rasulullah ke Madinah adalah garis pemisah antara yang hak dan yang batil.”  Menurut Sa’id Ibnul Musayyib, orang yang mengusulkan “kita mulai dari hijrahnya Nabi” adalah Ali bin Abi Thalib ra., ketika Umar bertanya kepada mereka, ‘Dari mana harus dimulai ?’

Pelajarannya : Ummat tidak diberi contoh  untuk mengkultuskan tokoh. Ummat hendaknya menjauhkan diri dari penyakit figuritas, gampang terpesona oleh kebesaran tokoh di jamannya.

 

Fragmen ke-2  : Dibaliknya tersimpan strategi da’wah

Hijrah ke-1 ke Habasyah (Ethiopia) dilakukan oleh golongan lemah dari para shahabat. Sementara shahabat yang kuat tetap tinggal di Makkah untuk berda’wah dengan segala macam resikonya, ibaratnya sebagai sarana pelatihan untuk menghadapi tahapan-tahapan yang lebih berat di masa mendatang. Meski demikian, boleh jadi hijrah sebagian shahabat ke Habasyah adalah sebagai strategi pemeliharaan kader da’wah. Siapa tahu, meskipun kader-kader yang menetap di Makkah adalah kader yang kuat, tetapi bisa saja toh kader-kader di Makkah akan habis karena ancaman Quraisy ? Ini disadari benar oleh Quraisy, sehingga mereka mengirim utusannya ke Raja Najasyi (penguasa Habasyah), agar orang-orang yang meminta suaka tersebut dikembalikan kepada mereka. Rasulullah saw. pun pernah mencoba melihat kemungkinan daerah da’wah baru di Thaif. Rupa-rupanya Thaif pada masa itu masih tidak bershahabat, sehingga Rasulullah disambut dengan cacian dan lemparan batu oleh orang-orang Thaif. Ketika malaikat menawarkan agar kampung Thaif ditimpakan gunung, maka alih-alih mengiyakan, Rasulullah malah mendo’akan agar anak cucu mereka nanti terbuka untuk menerima da’wah. Di sini kita melihat sebuah pelajaran, bahwa da’wah harus shabar tidak boleh tergesa-gesa. Jangan terlalu terpaku pada objek da’wah yang itu-itu saja, boleh jadi anaknya, keluarganya, atau orang-orang disekitar ia yang akan menerima seruan da’wah.

Rasulullah memanfaatkan momen ibadah haji, utamanya masa (mabit) menginap di Mina untuk penyebaran da’wah. Ternyata, berawal dari acara-acara umum (ibadah haji adalah momen tahunan orang Arab, bahkan yang musyrik sekalipun) disitu Rasulullah bertemu pertama kalinya dengan calon kader da’wah dari Yatsrib (Madinah). Siapa mengira jika setahun kemudian (dengan memanfaatkan momentum haji), secara diam-diam Rasulullah telah mendapatkan kader da’wah sejumlah 12 orang yang mengikrarkan diri untuk mengislamisasi kehidupannya (Bai’ah Aqabah I / Bai’ah Nisa). Bahkan tahun berikutnya melonjak menjadi 70 orang pria dan 2 wanita ? Peristiwa bertemunya Rasulullah saw. dengan 72 orang kader da’wah asal Madinah disebut-sebut di dalam sejarah sebagai “Bai’ah Aqabah II”, di mana pendukung da’wah di Madinah yang diwakili oleh 72 orang tersebut melakukan ikrar setia membela Rasulullah sebagaimana mereka membela anak-anak dan istri mereka.

Setelah terbangun pondasi yang kokoh itulah (ditandai dengan jaminan pembelaan nyawa), maka Allah memberitahu kepada Rasul-Nya, agar hijrah ke Madinah dilangsungkan. Peristiwa hijrahnya Rasuullah saw. pun penuh dengan pelajaran-pelajaran yang menunjukkan kematangan strategi. Rasulullah saw. melakukan janjian untuk pergi hijrah bersama Abu Bakar ra. dengan cara mengunjungi  Abu Bakar pada siang hari yang sangat terik, di mana manusia pada jam-jam tersebut lebih memilih tinggal di rumah, sehingga manusia tidak ada yang tahu rencana tersebut Malam harinya Rasulullah saw. menyuruh Ali ra. untuk tidur di ranjangnya dengan memakai selimut Rasulullah saw, sehingga orang-orang Quraisy yang mengepung rumah nabi mengira bahwa Rasulullah masih di rumahnya. Saat hijrah, Rasulullah tidak buru-buru menuju utara (Madinah), tetapi beliau bersama Abu Bakar menuju ke Jabal Tsur yang terletak di selatan. Andai saja beliau saw. langsung ke utara, boleh jadi mereka akan tersusul oleh pasukan gerak cepat Quraisy yang menggunakan kuda-kuda pilihan. Selama 3 hari bersembunyi tersebut Abu Bakar ra. memerintahkan anaknya Abdullah untuk memantau perkembangan kota Makkah. Setiap malam, Asma’ puteri Abu Bakar ditugaskan untuk mengantar ransum makanan ke atas gunung secara diam-diam. Sementara Amir bin Fuhairah (pembantu Abu Bakar), ditugaskan untuk menggembala kambing di sekitar situ guna menghapus jejak-jejak Asma’ ra. Demikianlah, setelah keadaan mulai aman, Rasulullah saw. dan Abu Bakar baru bergerak ke Madinah dengan melalui jalan-jalan yang jarang ditempuh manusia, mendekati tepian laut Merah.

 

Fragmen ke-3  : Hijrah adalah Bukti Keimanan

Orang-orang yang berhijrah meninggalkan hartanya, meninggalkan karir dan eksistensi yang sudah dibangun puluhan tahun di Makkah. Demikianlah, hijrah menjadi ujian keimanan. Memilih Allah dan Rasul-Nya atau memilih kemapanan di Makkah ? Hijrah menyebabkan perkawinan berakhir, karena sang pasangan masih kafir musyrik. Pilih cinta Allah dan Rasul-Nya atau pilih cinta si dia ?

Orang-orang yang tidak berangkat hijrah, padahal mampu, mereka itu ketika mati dipertanyakan oleh Malaikat dengan “Bagaimana kalian ini ?” (lihat An-Nisa : 99)

Bahkan orang yang sudah taat dan melakukan hijrah-pun harus mengikhlaskan niatnya. Hendaknya jangan berhijrah karena di tempat asal memang sudah miskin, dan berharap di Madinah bisa mendapatkan dunia. Atau jangan pula berhijrah karena wanita yang ditaksirnya berhijrah, sehingga buru-buru ikut hijrah agar si wanita mengira ia sholeh dan mau menerimanya sebagai suami. Berapa banyak di jaman ini, manusia tiba-tiba menjadi shalih mendadak supaya mendapat hati cowok/cewek idaman, dan persetujuan calon mertua? “Barangsiapa hijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu adalah menuju Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrah karena (harta) dunia yang diusahakannya atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu menuju apa yang ia inginkan” (HR Bukhari & Muslim)

Momentum hijrah ini hendaknya mampu menjadikan kita melakukan hijrah i’tiqadiyah (keyakinan) dari kekafiran menuju keimanan, hijrah fikriyah (pola berfikir) dari jahiliyah menuju Islam, hijrah syu’uriyah (rasa) dari cinta dunuia menju cinta akherat, hijrah sulukiyah (tingkah laku) dari akhlak tercela menuju akhlak terpuji. Pendeknya hijrah di semua cabang kehidupan!

Wallahu A’lam bish Showab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *