Mentadabburi Ayat Kursi (4)

Oleh : DR. Azhami S.J.

Pemahaman Yang Benar Tentang Syafa’at Dan Sifat-sifat Allah

Pada pembahasan sebelumnya kita telah memahami bahwa penggalan yang berbunyi (Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi) menunjukkan bahwa hanya Allah-lah yang memiliki segala sesuatu dengan mutlak. Sedangkan kepemilikan manusia atas sesuatu, pada dasarnya adalah kepemilikan secara kinayah saja, bukan kepemilikan dalam arti yang sebenarnya. Kepemilikan orang tua atas anaknya, bukan kepemilikan yang mutlak. Inilah yang disebut dengan tauhidullah yang mutlak.

Sedangkan penggalan yang berbunyi (Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa idzin-Nya) memberikan pemahaman bahwa di akherat nanti tidak ada makhluk yang berhak memberikan syafa’at kepada makhluk yang lain, kecuali makhluk yang telah mendapatkan idzin dari Allah SWT. Hatta Rasulullah SAW pun, sebenarnya tidak bisa memberikan syafa’at. Rasulullah SAW baru bisa memberikan syafa’at setelah mendapatkan idzin dari Allah SWT. Jadi pada hakekatnya yang bisa memberikan syafa’at hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu hanya kepada Allah-lah kita hendaknya mengabdi dengan ikhlas.

Ada sebuah hadits Rasulullah SAW tentang masalah syafa’at yang haditsnya ini sudah sangat ma’ruf. Di sana dijelaskan bahwa di akherat kelak Rasulullah SAW didatangi oleh lautan manusia yang meminta agar beliau mau berdo’a kepada Allah SWT, agar Dia berkenan meringankan siksa dan keadaan di hari qiyamat. Mereke meminta hal itu karena kondisi saat itu sangat mencekam. Dan kondisi yang sangat mencekam ini bisa diringankan, kalau Rasulullah mau berdo’a kepada Allah SWT. Setelah mendengar permintaan itu Rasulullah datang dan bersujud di bawah Arsy Allah SWT dan mengucapkan kalimat-kalimat yang diajarkan Allah SWT. Maka kemudian dikatakan kepada Rasulullah SAW “Yaa Muhammad, angkatlah kepala kamu dan mintalah, niscaya kamu akan diberi”. Jawaban merupakan bukti bahwa hatta Rasulullah SAW pun tidak akan bisa memberi syafa’at kalau tidak mendapat idzin dari Allah SWT. Hal ini harus kita pahami dengan baik, agar kita tidak tergelincir pada pemahaman yang salah. Kesalahan dalam memahami masalah syafa’at ini bisa menyebabkan seseorang enggan untuk berusaha menjadi hamba Allah terbaik, karena ia mengandalkan bahwa nanti di akherat ia akan mendapatkan syafa’at dari sesuatu.

Penggalan ayat ini sekaligus juga merupakan penegasan terhadap kebesaran Allah (kibriya-ullah), sehingga di akherat nanti kebesaran secara mutlak hanyalah milik Allah SWT. Oleh karena itu tidak ada orang yang berhak memberikan syafa’at kecuali kalau ia telah mendapatkan idzin dari Allah SWT. Pemahaman ini mempunyai konsekuensi bahwa pengabdian kita semata-mata hanya boleh kita serahkan kepada Allah SWT saja.

Keenam, konsideran selanjutnya yang menerangkan mengapa hanya Allah saja yang berhak disembah adalah (dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya). Penggalan ini menunjukkan bahwa ilmu Allah bersifat mutlak dan lengkap. Ilmu yang dimiliki manusia ibarat setetes air di tengah lautan yang luas. Karena demikian kecilnya manusia dan seluruh makhluk di hadapan Allah, maka sudah sewajarnyalah kalau hanya kepadanya kita menyembah.

Ketujuh, hanya Allah yang berhak disembah karena (Kursi Allah meliputi langit dan bumi). Kata-kata kursi oleh sebagian Ahli Tafsir ditafsirkan sebagai ‘ilmu Allah. Kalau kata kursi dipahami demikian, artinya bahwa ‘ilmu Allah mencakup seluruh langit dan bumi. Sebagian Ahli Tafsir yang lain mengartikan kursi sebagai kekuasaan. Ini berarti kekuasaan Allah meliputi langit dan bumi. Ahli Tafsir lainnya lagi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kursi pada ayat ini adalah kursi sebagaimana yang dimaksud Allah SWT, dan kita tidak perlu mencari ta’wilnya. Yang terakhir ini adalah perkataan Ulama Tafsir yang sangat berhati-hati ketika menerangkan asma’ dan sifat Allah SWT, sehingga mereka tidak mau terjebak dalam penta’wilan-penta’wilan yang mungkin saja tidak benar. Dan sebagian besar Ulama’ Salaf (Ulama’ terdahulu) tidak mau terlibat dengan penta’wilan-penta’wilan ayat Al-Qur’an, agar mereka terhindar dari kemungkinan kesalahan karenanya. Apalagi menurut sebagian Ahli Tafsir, hadits-hadits yang menerangkan tentang kursi Allah, tidak sampai pada derajat yang shohih.

Dalam bahasa Arab, yang dimaksud dengan Al-Kursi adalah sesuatu yang diduduki, yang terbuat dari kayu atau bahan lainnya, yang diletakkan sebagaimana tiang, yang ada tempatnya untuk duduk, yang ukurannya hanya bisa ditempati oleh satu orang saja. Jadi kalau muat lebih dari satu orang, maka  tidak bisa disebut kursi akan tetapi disebut Al-Arsy. Sebagian Ulama’ memahami bahwa yang dimaksud al-kursi di sini adalah Al-Arsy. Argumentasi yang diberikan adalah :

a. Dalam Al-Qur’an tidak ada kata kursi yang lain kecuali yang ada pada ayat ini. Ini berbeda dengan kata Arsy yang terdapat di beberapa tempat dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu sebagian ahli Tafsir mengatakan bahwa Kursi yang dimaksud dalam ayat ini sama dengan Arsy.

b. Kalau yang dimaksud dengan Kursi di sini berbeda dengan Arsy, kemungkinan besar kedua-duanya disebut secara bersamaan, karena kalau ada dua kata yang disebut kedua-duanya, berarti antara keduanya tidak sama. Misalnya ketika ada ayat yang mengatakan al-fuqoro’ wal masakin (fakir dan miskin), berarti fakir dan miskin adalah dua keadaan yang berbeda. Karena untuk Arsy dan Kursi ini dalam Al-Qur’an tidak ada penyebutan Al-Arsy dan Kursi dalam satu tempat, maka berarti Kursi yang dimaksudkan sama dengan Arsy.

Apakah yang dimaksud dengan kursi di sini sama dengan Arsy atau bukan, yang jelas semua itu jangan sampai membuat kita bersikap berlebih-lebihan dalam hal semacam ini kepada Allah, karena Allah itu Maha Tinggi, yang tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu. Diantara sebab terjadinya kesalahan orang di dalam mengenal Allah adalah terjatuh pada sikap berlebih-lebihan sehingga menyebabkan ia menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Ada juga orang yang ingin mensucikan Allah SWT dengan sifatnya-sifatNya, sehingga kemudian mengurang-ngurangi sifat-sifat Allah. Agar kita tidak terjatuh dengan perilaku-perilaku seperti ini, kita harus mengimani apa yang telah dikatakan oleh Allah dan Rasulullah SAW. Kita harus mengimani bahwa Allah mempunyai sifat Marah, Allah bisa turun dari langit dan sebagainya. Kita harus mengimani itu semua tanpa harus menserupakanNya dengan makhlukNya, sebagaimana firman Allah : (Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. 42:11)

Sifat-sifat Allah ini menunjukkan tauhidullah (ke-Esa-an Allah SWT). Oleh karena itu dalam menjalankan kehidupan ini, kita harus benar-benar mengesakan Allah. Jangan sampai kita percaya bahwa Allah itu satu, akan tetapi dalam praktek kehidupan, kita mendatangkan tandingan-tandingan bagi Allah SWT.

Allah SWT menutup ayat ini dengan mengatakan (dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar). Dari penggalan ayat ini bisa kita ketahui bahwa diantara sifat Allah adalah Al-Aly (Maha Tinggi), dan Al-‘Adhim (Maha Agung).

Inilah cara mengenal Allah (ma’rifatullah) dengan benar, sesuai dengan yang ditentukan Allah dan RasulNya. Penyimpangan ‘aqidah yang dialami sebagian ummat Islam disebabkan karena mengenal Allah bukan dengan cara yang ditentukan oleh Allah dan RasulNya, akan tetapi menggunakan pendekatan seperti yang dipergunakan para falasifah dan mutakallimiin (ahli ilmu kalam), sehingga akhirnya membingungkan diri mereka sendiri dan orang lain. Misalnya, ada orang yang mempertanyakan apakah Allah itu syai’ (sesuatu) atau tidak syai’ (bukan sesuatu). Kalau dikatakan Allah itu bukan sesuatu, lalu bagaimana Allah itu ? Sedangkan kalau Allah itu sesuatu, berarti sesuatu itu terdiri dari atom dan molekul-molekul. Dengan cara pemahaman seperti ini, akhirnya orang yang ingin mengenal Allah itu menjadi kebingungan sendiri, dan tidak juga bisa mengenal Allah SWT. Oleh karena itu marilah kita mengenal Allah dengan cara yang diajarkan Allah dan Rasulullah SAW.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *