Cahaya Al Qur’an

remember-allahHidup buat sebagian orang kadang seperti susah payahnya penghuni gua yang memburu seberkas sinar. Tiap kali menemukan atap gua yang berlubang, ia begitu senang. Karena dari situlah, secuil sinar ia temukan. Padahal, kalau saja ia mau keluar, akan ia temukan terang benderangnya siang.

Kebanggaan tersendiri dalam diri Umar bin Khaththab r.a. ketika memegang lembaran Taurat. Ia sedang mendalami beberapa pelajaran yang bisa diambil dari kitab yang turun melalui Nabi Musa a.s. itu. Hingga, Umar berjumpa dengan Rasulullah saw.

Pandangan beliau saw. pun tertuju pada yang dipegang Umar. “Apa yang kau pegang, Umar?” tanya Rasulullah saw. Dengan ringan, Umar r.a. pun menjawab, “Taurat, Ya Rasulullah!”

“Wahai Umar, andai yang diturunkan Taurat itu masih hidup, tentu, ia akan merujuk kepada Alquran dan meninggalkan Taurat!” ucap Rasulullah saw. begitu menggugah hati Umar. Saat itu juga, Umar pun melepas lembaran Taurat.

**

Alquran buat umat Islam persis seperti air untuk ikan. Apalah arti aquarium yang indah buat ikan, jika tanpa air yang cukup dan jernih. Apalah arti sungai yang luas bagi ikan, jika hanya beberapa senduk air yang membalut tanah menjadi lumpur. Kalau pun ada yang bisa bertahan dalam lumpur, ikan tidak bisa hidup nyaman. Ruang hidupnya menjadi sempit.

Seperti itu pula yang akan dialami umat Islam. Tanpa bimbingan Alquran, kaum muslimin cuma bisa menang dari segi jumlah. Tapi, tidak berdaya dalam soal pengaruh. Mereka menjadi umat yang hanya berkutat pada persoalan sempit: khilafiyah, aliran sesat, konflik internal, dan perebutan secuil jatah kue ekonomi.

Sebuah kritik diri mungkin menarik untuk diajukan: kenapa umat Islam mundur, sementara yang lain bisa maju? Ternyata, jawaban kritik itu pun tak kalah menarik. Umat selain Islam bisa maju karena mereka meninggalkan kitab suci mereka. Sementara, umat Islam mundur justru karena ikut-ikutan melepas kedekatan diri dengan Alquran.

Jawaban itu sebenarnya sudah diungkapkan Rasulullah saw. jauh sebelum masa fitnah ini datang. Rasulullah saw. mengatakan, “Sesungguhnya Allah swt. akan mengangkat derajat suatu kaum dengan kitab ini (al-Qur’an), dan dengannya pula Allah akan merendahkan kaum yang lain.” (HR. Muslim)

Itulah yang terjadi saat ini di tubuh umat Islam. Di belahan bumi mana pun, umat Islam persis seperti yang digambarkan Rasulullah saw. sebagai hidangan yang diperebutkan orang. Buminya dijajah, kiprahnya dikucilkan, dan citranya ternodai dengan sebutan ‘teroris’.

Seorang sahabat Rasul bertanya, “Apakah waktu itu umat Islam sedikit, Ya Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Justru kalian waktu itu banyak. Tapi, terjangkit penyakit wahn!” Masih bingung, sahabat itu pun bertanya lagi, “Apa itu wahn, ya Rasulullah?” Rasulullah saw. pun menjelaskan, “Cinta dunia dan takut mati!”

Persoalan mendasar umat ini adalah tidak adanya pedoman yang bisa dijadikan pijakan bersama. Umat Islam terkotak-kotak dalam Undang-undang negara mereka. Mereka menjadi kehilangan identitas dan ideologi.

Bisa diukur, sejauh mana kedekatan umat Islam bangsa ini dengan Alquran. Berapa dari dua ratusan juta umat Islam di negeri ini yang bisa membaca Alquran dengan baik dan benar. Berapa dari yang bisa membaca itu yang mampu memahami dengan baik. Dan berapa dari yang memahami itu, mengamalkan dan memperjuangkan isi Alquran. Jumlahnya mungkin sangat kecil.

Tidak heran jika partai-partai Islam bukan pilihan yang menarik. Tidak heran jika hiburan porno menjadi tontonan yang laris. Umat Islam persis seperti yang disebut Rasulullah saw. sebagai buih: terlihat banyak, tapi tanpa isi.

Begitu pun dengan mereka yang memperjuangkan Islam. Salah satu modal dasar sukses tidaknya perjuangan adalah ikatan dengan Alquran. Mulai dari bacaan, pemahaman, dan pengamalan. Alquran harus hidup dalam dunia nyata seorang aktivis: diri, keluarga, dan tempat kerja.

Rasulullah saw. pernah menasihat para sahabat, “Jangan kamu menjadikan rumahmu bagaikan kuburan (hanya untuk tidur), sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan surah Albaqarah.” (HR. Muslim)

Seorang aktivis Islam mestinya bukan lagi sekadar dekat dengan mushaf Alquran. Lebih dari itu. Ia seperti punya indera lain ketika Alquran dibacakan. Hatinya menjadi lunak dan terbuka. Pikirannya pun jernih. Ia seperti sedang mendengar seorang raja yang sangat dicintai berbicara di hadapannya.

Seperti itulah yang pernah dilakukan seorang teladan aktivis dakwah, Baginda Rasulullah saw. Salah seorang sahabat yang begitu dekat dengan Rasul, Abdullah bin Mas’ud menuturkan pengalaman menarik itu.

Suatu kali, Rasulullah saw. berkata kepadaku. “Bacakanlah untukku Al-Quran.” Aku berkata kepada Rasul, “Ya Rasulullah, bagaimana saya membacakan untukmu Al-Quran, padahal ia diturunkan kepadamu.” Rasulullah saw. mengatakan, “Saya ingin mendengar dari orang lain. Aku berkata, “Maka saya bacakan surat Annisa’ hingga sampai pada ayat Fakaifa idza ji’na min kulli ummatin bishyahidin waji’na bika ‘ala ha-ula-i syahida. Bagaimanakah jika Kami (Allah) telah mendatangkan untuk tiap umat saksinya, dan Kami jadikan kau sebagai saksi atas semua umat itu. Nabi berkata, “Cukuplah sampai di sini.” Maka aku menoleh ke arah Nabi saw. Aku mendapati Rasul sedang bercucuran air mata.” (HR. Bukhari Muslim)

 

Berdekat-dekatlah dengan Alquran

“Orang yang dalam dadanya tidak ada sedikit pun dari Alquran, ibarat rumah yang bobrok.” (HR. Attirmidzi)

Maha Bijaksana Allah swt. yang menciptakan kehidupan dengan segala kelengkapannya. Laut yang luas dengan segala kandungannya. Langit yang biru dengan gemerlap hiasan bintang-bintangnya. Dan kehidupan manusia dengan kelengkapan aturan dan rambu-rambunya.

 

Berdekat-dekatlah dengan Alquran, hati akan memperoleh kesegaran

Hati sebenarnya mirip dengan tanaman. Ia bisa segar, layu, dan kering. Karena itu, hati butuh sesuatu yang bisa menyuburkan: siraman air yang menyejukkan, kehangatan matahari yang menguatkan, dan tanah gembur yang banyak makanan.

Untuk hati, siraman air adalah cahaya Alquran, kehangatan matahari adalah nasihat, dan tanah gembur merupakan lingkungan yang baik. Hati yang selalu dekat dengan Alquran bagaikan tanaman yang tumbuh di sekitar mata air nan jernih. Ia akan tumbuh subur dan kokoh.

Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah-rumah Allah untuk melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an dan mempelajarinya, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, dilingkupi pada diri mereka rahmat, dilingkari para malaikat, dan Allah pun akan menyebut (memuji) mereka pada makhluk yang ada di dekat-Nya.” (HR.Muslim)

 

Berdekat-dekatlah dengan Alquran, pandangan akan menemukan kejernihan

Secanggih apa pun sebuah gagasan, pemikiran; selama tidak bersandar pada Alquran, selama tidak dibimbing Alquran, hanya akan berkutat pada persoalan teknis. Bukan sesuatu yang ideal. Hanya akan berkutat pada materi dan materi.

Itulah yang diraih peradaban Barat saat ini. Sekilas kehidupan masyarakatnya seperti makmur sejahtera, padahal nilai-nilai sosial di sana sudah luntur. Idealita hidup menjadi begitu dangkal. Nilai hidup dan kemanusiaan menjadi tidak begitu dihargai.

Begitu pun ketika umat Islam berjarak dengan Alquran. Semakin jauh, pola pikir akan terjebak pada persoalan materi. Masalah yang muncul tidak pernah terselesaikan. Karena gagasan tidak mampu menyentuh persoalan inti, cuma berkutat pada yang kulit.

Krisis bangsa ini ada pada sisi moral. Dan itu ada dalam jiwa manusia. Upaya perubahan tidak akan punya arti jika tanpa ada pembenahan pada jiwa manusia. Allah swt. berfirman, “…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehinga mereka mengubah keadaan yang ada pada jiwa mereka sendiri….” (QS. 13: 11)

 

Berdekat-dekat dengan Alquran akan menyegarkan jiwa.

Segala syahwat buruk yang melahirkan emosi jahat bisa terkikis. Pandangan pun akan menjadi jernih. Maha Suci Allah dalam firman-Nya, “Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang zalim selain kerugian.” (QS. 17: 82)

 

Berdekat-dekatlah dengan Alquran, langkah akan mendapat bimbingan

Siapa pun kita, tetap tidak bisa keluar dari sifat sebagai manusia. Kadang melangkah dengan semestinya, kadang juga tersasar. Inilah di antara kelemahan manusia yang tidak bisa menentukan dengan kemampuan dirinya: mana jalan yang benar, dan mana yang tidak. Ia butuh bimbingan.

Hati yang segar dan pemikiran yang jernih akan menggiring langkah ke jalan yang lurus. Khusus mereka yang selalu dekat dengan Alquran, jalan kehidupan seperti dilengkapi rambu-rambu. Begitu jelas.

Kalaupun ia tersasar karena sifat manusianya, akan ada rasa tidak nyaman. Firasat imannya seperti memberikan sinyal. Bisa dalam bentuk kegelisahan, keraguan, dan sebagainya. Ia tidak lagi butuh teguran apalagi hukuman. Cukup dengan isyarat dari Allah swt., kesadaran pun kembali segar.

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 57: 28)

Berdekat-dekatlah dengan Alquran, kita tidak akan pernah sendirian

Keimanan dalam hati seseorang bisa terang, bisa juga redup. Ketika redup itulah, seorang mukmin seperti dalam kesendirian. Ada ketakutan, putus asa, ketidakmampuan, dan sejenisnya. Dunia seperti hutan lebat tanpa seorang pun di sana, kecuali dia seorang. Ia sangat butuh teman.

Seorang mukmin yang membaca Alquran, ia seperti sedang berdialog dengan seorang teman sejati. Yang siap menunjukkan yang salah dan yang benar. Ia menuntun sang teman kepada jalan yang baik, penuh kebahagiaan dan keselamatan.

Rasulullah saw. mengatakan, “Siapa yang ingin berdialog dengan Rabbnya, maka hendaklah dia membaca Alquran.” (HR. Adailami dan Al-Baihaqi)

Kini semua pilihan terhampar. Petunjuk dan rambu-rambu pun sudah diberikan. Tinggal kita yang harus menentukan: memilih jalan bersama Alquran, atau tidak. Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “…maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir….” (Qs. 18: 2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *