Kita Bisa Menjadi Orang Shalih

ngaji

Semua orang lahir sebagai manusia biasa. Tidak membawa kecerdasan istimewa, apalagi keshalihan istimewa, kecuali apa yang dibawa dari trah darah dan keringat orang tua dan siapa saja yang ada pada jalur silsilah nasabnya.  Ayah, kakek, orang tua kakek, dan seterusnya ke atas. juga ibu, nenek, orang tua nenek dan seterusnya.  Rasulullah SAW bersabda, “Pilihlah (tempat yang baik) untuk (menyimpan) nutfah kalian karena watak orang tua itu bisa muncul (pada anak).  Dalam riwayat lain, “Karena watak orang tua itu tajam (bisa menurun kepada anak).” (HR. lbnu Majah dan Al Hakim).”

Seorang anak yang baru lahir belum bisa dihukumi sebagai anak yang shalih.  Mungkin ia membawa potensi dan bakat keshalihan. Tetapi pertarungan untuk mewujudkan potensi itu masih panjang, melawan segala godaan hawa nafsu dan bisikan syetan.  Apalagi selain potensi kebaikan juga ada potensi keburukan.  Keduanya kekuatan dalam jiwa yang saling berlawanan dan bisa saling mengalahkan: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.’ (QS. Asyams: 8). Karenanya anak yang belum baligh belum menerima perintah menjalankan Islam kecuali sebagai sebuah pembiasaan. Ia tidak wajib shalat, tapi dianjurkan untuk dibiasakan shalat. Bila seorang anak melakukan tindakan yang merugikan orang lain, maka walinya yang menggantikan kerugian itu.

Semua manusia lahir mulanya sebagai orang biasa.  Termasuk orang-orang shalih yang mengisi sejarah.  Hanya  Nabi Isa yang lahir langsung bisa bicara dan menjelaslkan tugasnya sebagai Rasul.  Hanya para Rasul yang ma’sum dari kesalahan.  Allah SWT telah berfirman, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam  keadaan tidak punya pengetahuan apapun. Dan  Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan  dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS.  An-Nahl:78)

Ayat di atas menegaskan, bahwa semua orang dibekali Allah dengan modal yang sama: pendengaran, penglihatan, dan hati.  Maka setiap orang sebenarnya punya peluang yang sama untuk menjadi manusia-manusia shalih. Caranya? dengan memfungsikan ketiga bekal itu, lalu memohon petunjuk dan taufik Allah. Saat itulah orang akan tumbuh menjadi manusia Shalih dengan kadar dan derajat yang berbeda-beda. “Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yong telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.’ (QS.  Al-Ahqaf: 19)

“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.'(QS Maryam: 76)

“Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.  Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (QS.  Al-isra’: 84)

Prinsip itu pula yang mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa orang-orang shalih yang pernah dikenal sejarah kehidupan umat manusia juga tumbuh dengan logika keshalihan seperti itu.  Mereka mulanya biasa saja.  Lahir sebagai anak dengan segala bakat dan potensinya.  Lalu mereka belajar mengenali Allah, kemudian mencintai-Nya sepenuh hati. Maka Allah pun mencintai mereka.  Mereka mendekat kepada Allah, Allah pun mendekat kepada mereka.  Tapi kadang mereka juga salah, tapi mereka segera bertaubat.

Pada tiga sisi kehidupan utama mereka – kehidupan sebagai manusia, sebagai muslim, dan sebagai da’i – makin kita temukan bahwa dalam derajat keshalihan yang luar biasa, mereka tetap manusia biasa. Ini bukan untuk mengecilkan kebesaran mereka, apalagi untuk merasa bahwa kita lebih baik.  Tidak, sama sekali tidak.  Tapi untuk memberi daya dorong kepada jiwa kita bahwa kita pun bisa menjadi orang-orang shalih, dalam batasan maksimal yang kita miliki untuk menjadi shalih, dan dalam batasan kemanusiaan yang ada pada diri kita.  Masalah utamanya bukan pada sejauh mana orang punya atau tidak punya persoalan hidup yang ruwet.  Tapi seberapa besar semangat dan keseriusan kita untuk menempa diri menjadi orang-orang shalih.  Sebab siapapun yang lahir dan hidup di dunia ini, pasti akan menemui problema-problema kehidupan.  Maka perhatikanlah bagaimana orang-orang shalih itu mengarungi tiga peran utamanya dalam kehidupan :

Pertama, sebagai manusia.

Sebagai manusia, orang-orang shalih itu juga memiliki masalah dalam hidup.  Masalah dengan dengan keluarga, masalah mencari rezeki, atau yang terkait dengan diri sendiri.  Kadang hidup mereka susah, kadang kelaparan, kelelahan, bahkan kadang mengalami kegoncangan.  Mereka harus bekerja keras mencari pekerjaan.  Mencari makan, juga  mencarikan makan untuk anak-anak dan istrinya.

Tak lama setelah diangkat menjadi khalifah, Abu Bakar masih saja berdagang kain ke pasar.  “Lalu apa yang akan dimakan keluargaku kalau aku berhenti berdagang?” katanya ketika Umar memintanya berhenti. Abu Bakar tetap berdagang sampai akhirnya Umar meminta ia digaji dari Baitul Mal, agar bisa konsentrasi mengelola urusan kekhilafahan.  Fatimah radhiyaallahu’anha pernah lecet-lecet tangannya karena mengerjakan sendiri urusan rumahnya. Ia sempat meminta pembantu kepada ayahnya.  Tapi Rasulullah menggantinya dengan yang lebih baik : do’a.

Para salafusshalih itu juga banyak yang menerima ujian berat.  Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Zaid bin Arqam diuji Allah dengan kebutaan.  Tetapi ia tetap sabar.  Karena itu Rasulullah menghiburnya bahwa baginya surga.  Ummu Salamah pernah ditinggal mati suami yang sangat dicintainya.  Menurutnya tak ada orang sebaik Abu Salamah. la pun tidak menikah lagi kecuali setelah Rasulullah yang melamarnya.  Karena baginya, hanya Rasulullah yang bisa mengalahkan Abu Salamah.

Orang-orang shalih itu kadang juga berselisih pendapat, tapi mereka segera sadar kemana mencari penengah.  Suatu hari Rasulullah menugaskan Khalid untuk memimpin sebuah ekspedisi perang.  Dalam rombongan ada Ammar bin Yasir.  Sebelum perang, dikirim utusan untuk memberitahu kaum yang dituju itu agar mau masuk Islam.  Tiba-tiba ada seorang laki-laki menemui Ammar.  “Wahai Ammar, aku dan keluargaku telah memilih Islam.  Apakah itu bermanfaat jika aku tetap tinggal di kampungku.”Ammar menjawab, ‘Tinggallah, engkau aku jamin aman.”

Lalu Khalid memeriksa kampung tersebut. Orang-orang sudah banyak yang kabur.  Kecuali keluarga laki-laki itu.  Segera ia tangkap keluarga laki-laki itu.  Ammar berteriak, “Mereka sudah masuk Islam, tak ada alasan kamu menangkapnya.”

“Apa urusanmu dengan dia?  Apakah kamu memberi jaminan padaku, padahal pemimpin pasukan ini adalah aku?’ tanya Khalid.

“Ya, aku menjaminnya meski engkau pemimpin pasukan.”

Keduanya bersilang pendapat bahkan saling mencela.  Setelah pulang ke Madinah, keduanya menghadap Rasuluilah.  Rasulullah membolehkan tindakan Ammar yang memberi jaminan itu, tapi melarang untuk mengulanginya sesudah itu.  Tapi keduanya tetap saling bersitegang.  Khalid marah, “Ya Rasulullah, mengapa ia masih saja menghinaku padahal di hadapanmu.  Demi Allah, ia berani mengejekku karena ada engkau.” Mendengar itu Rasulullah marah.  “Cukup wahai Khalid.  Siapa yang membenci Ammar, akan dibenci Allah, siapa melaknat Ammar, akan dilaknat Allah.” Ammar keluar. khalid mengikuti.  Khalid segera menarik baju Ammar untuk meminta maaf dan meminta keridhaannya.  Akhirnya Ammar meridhainya. (Diriwayutkan oleh Thabrani, Nasa’i, dan dishahihkan oleh Al-Hakim).

Dalam ekspedisi lain bernama Dzatussalasil yang dipimpin Amru bin Ash, Umar bin Khattab hampir saja melabrak sang komandan.  Sebab, para pasukan dilarang menyalakan api.  Keadaan gelap gulita.  Abu Bakar yang juga menjadi prajurit saat itu segera mencegah Umar yang marah.  “Jangan, sesungguhnya dia tidak diangkat sebagai panglima kecuali karena keahliannya dalam berperang.” Umar pun tenang.

Kedua, sebagai muslim.

Dalam menjalankan kewajiban sebagai muslim orang-orang shalih itu juga punya rintangan. Jangan dikira untuk menjadi muslim yang taat mereka tak perlu kerja keras.  Mereka juga perlu usaha kuat untuk mengejar keshalihan tersebut.  Perlu mendidik jiwa mereka dengan tulus serta menyucikannva.

Mereka tidak bisa begitu saja menjalani agama ini dengan tanpa beban, tanpa tarik menarik antara hawa nafsu dan suara tulus hatinya.  Mereka juga harus berjuang mengusir godaan syetan.

Bahkan kadang mereka juga tergelincir, tapi mereka segera bertaubat. Atau segera diingatkan oleh sahabatnya yang.  Seperti kisah Anas bin Malik di kepemimpinan Khalifah Utsman bin pemah masuk ke majlis sang Khalifah. la bercerita  “Aku datang kepada Utsman bin Affan. Waktu di jalan aku bertemu dengan seorang wanita. Aku meliriknya dan memperhatikan kecantikannya. Utsman berkata, ‘Telah masuk salah seorang diantara antara kalian sedang di matanya ada bekas zina. Tidakkah engkau tahu bahwa zinanya mata adalah pandangan?  Hendaknya engkau bertaubat kalau tidak, akan aku kenakan hukum ta’zir (pengasingan) kepadamu?”

Anas bin Malik heran dari mana Utsman tahu. Maka ia berkata, “Apakah turun wahyu setelah Rasulullah tiada?” Utsman menjawab bukan wahyu, melainkan ini adalah pandangan mata hati, tanda-tanda, dan firasat yang benar.”

Ibnu Qudamah menukil kisah Rabi’ bin Khaitsam, seorang tabi’in terkenal. Rabi’ pernah digoda oleh seorang wanita.  Sebenarnya, wanita itu suruhan sekelompok orang yang tidak suka kepada Rabi’.  “jika kamu mau melakukannya, kami akan memberimu hadiah seribu dirhan,” begitu orang-orangku menjanjikan.

Mendengar tawaran tersebut wanita itu segera mengenakan pakaian terbagus dan terharum yang ia miliki. la siap dengan tipu muslihatnya.  Lantas ia menunggu Rabi’ di depan masjid.  Begitu keluar, wanita itu segera berjalan menyajari Rabi’ yang merasa kagum juga atas kecantikannya.  Apa yang dilakukan Rabi’? Ia berkata kepada wanita itu, “Bagaimana kelak bila dirimu terkena panas,sehingga warna kulitmu menjadi pucat dan menghilangkan kegembiraanmu? Bagaimana kelak bila dirimu didatangi Malaikat pencabut nyawa, lalu dia memutuskan urat nadimu? Dan bagaimana kelak bila dirimu ditanya oleh malaikat Munkar dan Nakir?” mendengar pertanyaan Rabi’ wanita itu menjerit dan jatuh pingsan.  Setelah siuman ia berubah total. la menjadi ahli ibadah hingga akhir hayatnya.

Bukankah Rasulullah pernah menyatakan bahwa bila Allah mencintai hambanya, maka ia akan mengujinya?  Bukankah ia juga mengatakan bahwa yang paling berat ujiannya adalah para nabi-nabi, lalu yang sesudahnya dan sesudahnya?

Ketiga, sebagai da’i

Orang-orang shalih itu juga punya agenda da’wah yang padat.  Suatu hari Ibnu Abbas baru saja memulai i’tikaf.  Tiba-tiba ada orang yang perlu bantuan lantaran punya masalah dengan orang lain.  Akhirnya lbnu Abbas keluar meninggalkan i’tikafnya untuk menyelesaikan urusan orang tersebut.  Sambil berderai air matanya ia teringat sabda Rasulullah, “Barang siapa berjalan memenuhi kebutuhan seorang muslim maka baginya lebih baik dari itikaf sepuluh tahun.” (Diriwayatkon oleh Thabrani, Baihaqi dan dishahihkan oleh Al-Hakim).

Bahkan kesibukan da’wah orang-orang shalih itu kadang tak lagi dari pena ke pena.  Atau dari majlis lisan ke majlis lisan lainnya.  Tapi medan da’wah mereka dari jihad perang ke jihad perang lainnya.  Tidak sekadar ke desa tetangga, tapi ke berbagai belahan bumi.  Berhiaskan kilatan pedang, dinginnya malam, jauh dari sanak keluarga, dalam bayang-bayang kematian yang nampak lebih jelas.

Di masa Khulafaurrasyidin, para sahabat terus menebarkan da’wah.  Khalid bin Walid ke lrak, Hudzaifah menaklukkan Iran, Abu Ubaidah ke Syam, Yordania, Damaskus, Suria bagian Selatan.  Amr bin Ash ke Mesir, begitu juga para sahabat lainnya.  Pada masa Utsman, da’wah Islam menembus Afrika Barat, Sudan, Kabul, Turki, Azerbaijan, dan Armenia.

Pada masa Khilafah Umawiyah da’wah juga terus berkembang dari Damaskus ibukotanya.  Daerah di sekitar Laut Tengah adalah tempat-tempat para salafusshalih itu mendermakan baktinya kepada Allah SWt, tak lelah membimbing para muallaf, mengajari mereka bagaimana memasuki agama baru secara utuh dan sempuma.  Mereka bahkan menuju Konstantinopel.  Pada massa Umar bin Abdul Aziz, dawah telah merambah ke kaum Bar-Bar.  Umar bin Abdul Aziz rnenugaskan sepuluh ahli fiqih untuk mereka.  Sementara Musa bin Nushair membuka jalan dawah ke Andalusia.

Pada masa kekhilafahan Bani Abbasiyah, muncul ulama-ulama fiqih yang empat, juga ulama hadits Imam Bukhari, Muslim, Sufyan Tsauri, Ibnul Mubarak (yang punya agenda rutin satu tahun haji dan satu tahun pergi ke medan perang) dan lainnya.  Semua sibuk menda’wahkan ilmu yang mereka miliki.  Tetapi hinga akhir hayat mereka, tak ada catatan bahwa kesibukan mereka berda’wah mengurangi keshalihan mereka. justru sebaliknya.

Keshalihan bisa dimiliki oleh siapa saja.  Asal ada usaha sungguh-sungguh dan do’a yang tulus.  “Dan mereka yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS Al-Ankabut: 69) Maka, pancangkan semangat dan keyakinan, bahwa kita bisa menjadi orang-orang shalih.

Sumber : Tarbawi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *