Lompatan Usia

BEBERAPA bulan lalu, saya membeli sebuah buku yang mengisahkan perjalanan hidup tokoh-tokoh besar Islam. Buku tersebut cukup lengkap karena memuat tokoh-tokoh Islam dari generasi awal hingga generasi terakhir. Maka tak berlebihan bila buku itu disebut ensiklopedi tokoh Islam; sebagaimana judulnya.

Kebetulan, tokoh pertama yang saya baca adalah Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang paling menonjol sekaligus paling terkenal dari Dinasti Ummayah. Pada usia 24 tahun ia telah diangkat menjadi Gubernur Madinah. Karena kehebatan dan kebijaksanaannya dalam memimpin, beberapa tahun kemudian ia pun diangkat menjadi penguasa Dinasti Ummayah. Masa pemerintahannya “hanya” berlangsung beberapa tahun saja, karena pada usia 36 tahun beliau dipanggil menghadap Sang Mahakuasa.

Apa yang dihasilkan Umar bin Abdul Aziz dalam usianya yang singkat itu? Saat ia berkuasa kekuasaan Dinasti Ummayah terbentang sepanjang Samudera Atlantik hingga Dataran Tinggi Pamir, rakyatnya hidup dalam ketenangan dan kesejahteraan yang hampir tak ada duanya. Yang terpenting, pemimpin besar ini telah mewariskan contoh terbaik bagaimana caranya memimpin rakyatnya dan mengabdi pada Tuhannya. Itulah yang menjadikan cucu Umar bin Khattab ini bagaikan monumen hidup yang terus “dikunjungi” hingga sekarang.

Membaca kisah ini, lutut saya seakan lemas dan timbul rasa malu dalam hati. Betapa dalam usia yang hampir seperempat abad ini, belum ada satupun yang mampu saya berikan kepada umat. Ya, jangankan mengurus umat-sebagaimana Umar bin Abdul Aziz-atau mengurus keluarga, hatta mengurus diri sendiripun belum sanggup.

Lutut saya terasa makin lemas dan semakin malu (tapi makin bersemangat), setelah membaca perjalanan tokoh-tokoh besar lainnya, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Sina, Imam Al-Ghazali, Muhammad Iqbal, Hasan Al-Banna, ataupun Prof. Abdul Salam. Betapa mereka mau mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk kebaikan dan kemajuan umat.

Meskipun usianya relatif singkat, tapi kontribusi dan dedikasi mereka tidak terbantahkan. Tak heran bila ada yang mengatakan bahwa mereka itu masih hidup. Yang mati hanyalah jasadnya, sedangkan nama dan kebaikannya terus abadi hingga sekarang. Lihatlah, Imam Bukhari wafat pada usia 62 tahun. Imam Muslim wafat pada usia 59 tahun. Ibnu Sina 56 tahun. Begitu pula Imam Al-Ghazali, beliau hanya hidup selama 53 tahun. Rentang waktunya mereka hidup begitu jauh dengan kita tapi kita masih mengenang kebaikan dan jasa-jasanya.

 

* * *

 

SAYA jadi teringat pada apa yang dikatakan Imam Syafi’i, bahwa usia manusia itu ada dua jenis, yaitu usia biologis dan usia kedewasaan. Usia biologis adalah usia yang selalu kita peringati setiap tahun, usia kita di KTP, dan yang tercatat di kelurahan. Sedangkan usia kedewasaan ditentukan oleh seberapa tinggi tingkat keilmuannya; seberapa banyak kontribusinya bagi agama dan masyarakatnya; ataupun seberapa matang akhlak dan kepribadiannya.

Masalahnya, usia biologis seseorang tidak selalu tegak lurus, selaras, dan sebanding dengan usiakedewasaannya. Ada orang yang usianya sudah 50 atau 60 tahun, tapi ia tidak mau mengembangkan diri, maka kelakuannya masih seperti anak-anak, ilmunya hanya setaraf SD, dan kontribusinya bagi umat bernilai nol. Di pihak lain ada orang yang usianya baru 20 atau 30 tahun, tapi ia tekun belajar dan mengembangkan diri, hingga cara berpikirnya menjadi dewasa, ilmunya luas, dan kontribusinya bagi umat sangat banyak.

Mungkin, itulah yang dilakukan tokoh-tokoh kita di atas. Usia biologis mereka terhitung pendek, tapi usia keilmuan dan kontribusinya pada umat sangat panjang, hingga beribu-ribu tahun. Mereka mampu melakukan lompatan-lompatan dalam hidupnya, sehingga usia keilmuan dan kontribusinya pada umat jauh lebih panjang daripada usia biologisnya.

Jadi, yang terpenting adalah bukan berapa usia kita secara biologis, tapi berapa usia kedewasaan kita; usia keilmuan dan kontribusi kita. Karena itu, Nabi Saw. pernah berdoa, “Ya Allah berilah kami usia yang panjang”. Tentu makna usia yang panjang di sini relatif sifatnya. Kita bisa dikaruniai usia panjang secara fisik, seperti 80 atau 100 tahun. Tapi kita pun bisa dikaruniai satu berkah usia walaupun itu pendek. Kita diberi umur 30 tahun misalnya, tapi kita mengisi usia tersebut dengan belajar dan berjuang untuk umat. Tentu, itu jauh lebih baik daripada diberi umur 60 tahun tapi menyusahkan orang lain. Wallahu a’lam bish-shawab. (Ems) ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *