oleh : DR. Azhami Z.
Maa kaana lilmusyrikiina an ya’muruu masaajidallaahi syaahidiina ‘alaa anfisuhim bil kufr, ulaa-ika habithoth a’maaluhum wa fin naarihum kholiduun
Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka itu kekal di dalam neraka. (QS. 9:17)
Pada ayat ini dengan jelas Allah SWT mengatakan bahwa Dia tidak menerima amal perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik, sekalipun secara lahir mereka seperti beribadah kepada Allah yaitu dengan memakmurkan masjid. Sangatlah tidak pantas kalau mereka ini menjadi orang yang memakmurkan masjid. Kenapa? Li anna al-’ibaadata ta’biiru ‘alal ‘aqidah (ibadah merupakan ekspresi daripada ‘aqidah seseorang). Artinya, kalau aqidah seseorang salah maka segala macam ibadah yang dilakukannya tidak sah dan tidak akan diterima oleh Allah SWT, sekalipun secara fisik ibadahnya kelihatan benar. Secara zhohir boleh saja mereka melakukan ibadah yang sama dengan yang dilakukan oleh kaum muslimin. Kaum muslimin bisa membangun, menyumbang dan memakmurkan masjid, orang kafir bisa melakukannya juga. Namun nilai yang mereka lakukan jelas berbeda dengan yang dilakukan oleh kaum muslimin. Di mana letak perbedaannya? Letak perbedaannya adalah pada kebenaran ‘aqidahnya. Dalam Islam, ibadatun wa ‘aqiidatun musyari’ah (Islam meliputi ‘aqidah dan sekaligus syari’ah). Ini berarti pelaksanaan suatu syari’ah Allah tidak bisa dipisahkan dengan kualitas ‘aqidah yang dimiliki seseorang. Inilah yang menyebabkan apa pun amalan yang dilakukan oleh orang-orang kafir tidak diterima oleh Allah SWT.
Penjelasan Allah pada ayat ini berkenaan dengan orang-orang Ahli Kitab, dimana mereka jelas-jelas orang kafir. Bahkan dari perkataannya pun, mereka jelas-jelas mengatakan bahwa mereka kafir, sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam penggalan yang berbunyi syaahidiina ‘alaa anfisuhim bil kufr (sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir). Seperti apa perkataan bahwa diri mereka kafir? Ketika orang Yahudi ditanya tentang siapa mereka, maka jawaban yang mereka berikan “Ana Yahuudu (saya Yahudi)”, dan ketika orang Nasrani ditanya dengan pertanyaan yang sama, maka mereka menjawab “Ana Nasroni (saya Nasrani)”. Jawaban yang mereka berikan ini merupakan bukti bahwa mereka adalah orang yang musyrik. Ini berbeda dengan ketika seorang muslim ditanya tentang siapa dirinya, tidak pernah jawabannya “Ana Muhammadiy (Saya penyembah Muhammad)”, akan tetapi jawabannya adalah “Ana muslim”.
Ayat ini hendaknya memberikan kepekaan kepada kaum muslimin, agar mereka tidak mudah tertipu oleh tampilan muka yang dilakukan oleh orang-orang kafir, karena Islam bukan hanya meliputi syari’ah, akan tetapi yang lebih penting adalah kebenaran ‘aqidah. Jangan sampai kaum muslimin ditipu oleh perilaku orang yang sekedar pernah melaksanakan umroh, tertipu karena seseorang yang pernah melakukan puasa, dan lain sebagainya. Dan orang-orang musyrik seperti yang dijelaskan Allah SWT tidak pantas menjadi orang yang memakmurkan masjid.
Ayat ini harus renungi lebih mendalam dan kita kaitkan dengan realita kehidupan yang terjadi sekarang, agar kita tidak tertipu oleh orang-orang yang membangun Masjid atau membangun Mushollah, akan tetapi sebenarnya kalau kita perhatikan komentar-komentarnya, atau kebijakan-kebijakannya, semua itu tidak terlepas daripada aqidah kekufuran, seperti orang yang mengatakan “Islam sudah tidak mampu menjawab problematika jaman”. Atau orang yang mengatakan “Islam hanya sesuai untuk mengatur kehidupan orang Arab saja”. Perkataan seperti ini sebenarnya merupakan sebuah syahadah (kesaksian) bahwa mereka telah jatuh ke dalam kekufuran karena mengingkari Islam sebagai diinullah (ajaran Allah), telah mengingkari Islam sebagai manhajul hayah (sebagai sistem dalam kehidupan). Jadi kalau kita perhatikan dengan seksama, cukup banyak orang yang dari komentar-komentarnya sudah jatuh ke dalam kekufuran dalam arti yang sebenarnya. Namun sayangnya ummat Islam masih saja belum menyadari realita ini, karena ucapan-ucapan itu berusaha ditutup-tutupi dengan tampilan-tampilan lahir, seperti membangun masjid, mempunyai pondok pesantren dan lain sebagainya.
Jadi penggalan yang berbunyi syaahidiina ‘alaa anfisuhim bil kufr (sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir) ini penting sekali untuk kita renungi. Jadi mereka sendiri sebenarnya sudah bersaksi bahwa mereka itu kufur, sekalipun tidak mengatakan “Saya kafir…”. Orang-orang Ahli Kitab tidak pernah mengatakan “saya kafir…”. Mereka hanya mengatakan “Ana Yahudi, Ana Nasrani…”. Dari sini kita bisa analogkan dengan ucapan orang-orang Islam sekarang yang mengatakan “Saya adalah seorang Nasionalis sejati…”. Atau orang yang mengatakan “Saya adalah penganut paham Sosialis…”, atau orang yang menganut isme-isme lainnya. Ucapan-ucapan seperti inilah yang dimaksudkan dalam penggalan ayat yang berbunyi syaahidiina ‘alaa anfisuhim bil kufr (sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir). Dan pemahaman seperti ini hendaknya kita sosialisasikan kepada masyarakat yang pada saat ini banyak yang kurang memahami tentang esensi kekufuran. Banyak diantara ummat Islam yang mengira bahwa yang dinamakan kufur hanya jika seseorang menyembah berhala saja. Padahal jenis-jenis berhala itu berkembang secara dinamis sesuai dengan perubahan dalam kehidupan bermasyarakat. Berhala yang ada pada masa kita sudah pasti berbeda dengan berhala yang disembah orang pada masa Nabi Ibrohim. Berkenaan dengan kehidupan masyarakat yang berlangsung pada masa Nabi Ibrohim, Allah berfirman:
Robbi innahunna adhlalna katsiron minan naas, faman tabi’anii fa innahuu minnii, waman ‘ashoonii fa innaka ghofuurur rohiim
Ya Rabbku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 14:36)
Esensi dari berhala bukan hanya patung yang dibuat dari batu atau kayu saja, akan tetapi apa saja yang menjadi tandingan Allah adalah berhala (andaadan). Hal ini harus kita pahami agar kita tidak tertipu oleh tampilan-tampilan lahir seperti karena megahnya bangunan masjid yang dibangun seseorang, kemudian dengan cepat kita mengatakan bahwa dia seorang muslim atau seorang tokoh muslim. Padahal terhadap orang seperti ini, Allah mengatakan ulaa-ika habithoth a’maaluhum (Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya), karena ‘ibadah tanpa didasari dengan ‘aqidah yang benar, tidak akan ada gunanya. Lebur dan hancurlah amal perbuatan yang tanpa didahului dengan ‘aqidah yang benar. Bagi orang seperti ini, tempat mereka adalah wa fin naarihum kholiduun (dan mereka itu kekal di dalam neraka). Na’udzubillaimin dzalik.
Innamaa ya’muru masaajidallaahi man aamana billaahi wal yaumil aakhiri wa aqoomash sholaata wa aataz zakaata walam yakhsya illallaah, fa ‘asaa ulaa-ka an yakuunuu minal muhtadiin
Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. 9:18)
Awal ayat ini dimulai dengan kata innama, yang dalam bahasa Arab disebut ‘adatul hasr (alat untuk menyempitkan). Ini berarti bahwa orang-orang yang tidak memiliki sifat sebagaimana yang disebutkan pada ayat ini, maka dia tidak layak untuk ikut memakmurkan masjid. Pengertian seperti ini sebagaimana ketika Allah SWT menerangkan kepada kita tentang batasan dari manusia yang disebut dengan Ulama’. Allah berfirman:
Wa minan naasi waddawaabbi wal an’aami mukhtalifun alwaanuhuu kadzaalik. Innamaa yakhsya-Allaha min ‘ibaadihil ulamaa`. Inna-Allaaha ‘aziizun ghofuur.
Dan demikian (pula) diantara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama’. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. 35:28)
Pada ayat ini Allah mengatakan Innamaa yakhsya-Allaha min ‘ibaadihil ulamaa (Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama’). Ini artinya bahwa orang yang tidak takut kepada Allah, bukanlah seorang Ulama’.
Kita kembali pada ayat yang kita tadabburi. Jadi kaum muslimin yang mendapatkan legitimasi dari Allah sebagai orang yang berhak untuk mema’murkan masjid adalah yang mempunyai sifat sebagaimana yang disebutkan pada ayat ini, yaitu :
Pertama, man aamana billaahi wal yaumil aakhiri (orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian). Jadi sifat pertama yang disebutkan sebagai orang yang berhak untuk disebut mema’murkan masjid, dikaitkan dengan masalah ‘aqidah, yaitu orang yang beriman kepada Allah dan beriman kepada hari akhir. Tentang keimanan kepada Allah dan keimanan kepada hari akhir ini merupakan bukti yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain seperti binatang. Binatang hanya mengenal apa-apa yang sifatnya lahiriyah dan keduniawian saja, dan tidak pernah melihat sisi ukhrowi. Oleh karena itu pantas saja kalau ada binatang yang saling berhubungan dengan yang lainnya tanpa mengindahkan norma, karena memang demikianlah mereka. Akan tetapi kalau ada manusia yang perilakunya seperti binatang, maka derajatnya sama dengan binatang, bahkan lebih rendah lagi. Oleh karena itu Allah berfirman:
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai. (QS. 7:179)
Antara keimanan kepada Allah dengan keimanan kepada hari akhir, sering diredaksikan Al-Qur’an secara berurutan. Kenapa? Karena keimanan kepada kedua hal ini bisa membedakan antara orang yang benar-benar beriman dengan orang-orang yang keimanannya hanyalah dusta. Orang yang keimanannya benar tidak akan menghalakan segala cara dalam berusaha karena ia yakin bahwa Allah SWT Maha Mengetahui, dan Dia akan memberikan balasan atas seluruh perbuatan manusia pada hari akhir kelak. Ketika seorang yang keimanannya benar mempunyai suatu obsesi yang berkaitan dengan masalah duniawi, ia akan bertanya dalam hatinya “Apakah ini akan bisa saya pertanggungjawabkan di akherat kelak ?” Ketika seorang mu’min menjadai seorang dosen, ia tidak akan mempunyai prinsip “Bagi saya, yang penting adalah bahwa apa yang saya sampaikan menarik dan membuat saya tenar”, akan tetapi sebelum ia melakukan apa pun, ia akan bertanya dalam hatinya apakah yang akan disampaikannya bisa ia pertanggungjawabkan di akherat kelak atau tidak. Jadi seorang mu’min sejati dimensi yang dipergunakannya adalah dimensi ukhrowi, sebelum ia menggunakan dimendi duniawi.
Kedua, wa aqoomash sholaata (serta tetap mendirikan sholat). Jadi sifat kedua yang harus dimiliki oleh orang yang berhak untuk mema’murkan masjid adalah yang bisa tetap mendirikan sholat. Oleh karena itu jangan sampai ada kasus dimana seorang pengurus masjid dipilih dari orang yang sangat jarang sholat di masjid. Dia datang ke masjid kalau ada peringatan hari besar Islam saja, seperti peringatan Maulid Nabi, Isro’ Mi’roj atau Nuzulul Qur’an, dan setelah peringatan tersebut selesai, maka menghilang lagi. Orang seperti ini tidak patut untuk menjadi pengurus masjid karena ia bukan aktivis masjid. Dan dalam memilih orang untuk menjadi pengurus masjid, sebaiknya kita jangan menghalalkan segala cara. Kadang-kadang ada sebagian orang yang menunjuk seseorang untuk menjadi ketua pengurus masjid bukan karean dia seorang yang aktif untuk selalu meramaikan masjid dengan sholat berjama’ah dan kegiatan lainnya, akan tetapi dipilah hanya karean dia orang berpangkat atau orang yang terpandang di masyarakat. Kita jangan sampai berbuat seperti ini, karena kalau demikian berarti kita telah menghalalkan segala cara dalam memilih pengurus masjid. Dan cara seperti ini jelas telah menyalahi aturan Allah, karena pada ayat ini Allah SWT mensyaratkan orang yang berhak memakmurkan masjid adalah orang yang senantiasa menegakan sholat.
Penegasan Allah ini sekaligus memberikan pemahaman kepada kita agar ijtihad kita jangan sampai bertentangan dengan nash yang terdapat dalam Al-Qur’anul Karim. Dalam melaksanakan da’wah, jangan sampai bertentangan dengan fiq-hul ahkam. oleh karena itu kebijakan-kebijakan yang kita ambil dalam da’wah jangan sampai bertentangan dengan ketentuan Allah SWT, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun yang terdapat dalam sunnah Rasulullah SAW. Bahkan pada ayat ini Allah mengatakan masalah ini dengan kata innama (hanyalah). Jadi hanya orang yang mempunyai sifat yang disebut dalam ayat ini sajalah yang berhak untuk memakmurkan masjid.
Dalam ushul fiqh ada qo’idah yang berbunyi “Laa ijtihaada fii mauriibin naash (tidak ada ijtihad ketika bertentangan dengan nash)”. Artinya, kalau sudah ada ketentuan yang jelas dalam Islam, maka tidak dibenarkan kita untuk berijtihad. Misalnya, sudah jelas nash menerangkan bahwa jumlah rekaat dalam sholat Shubuh hanya dua rokaat. Ketika ada orang yang beralasan bahwa agar manfaat riyadli (olah raganya) lebih terasa kemudian ia mengerjakan sholat Shubuh empat rokaat, maka tidak sah sehingga tidak akan diterima oleh Allah SWT. Contoh lain, tidak dibenarkan ijtihad yang berbunyi “Karena negara kita sedang dilanda krisis, maka kita tidak perlu membayar zakat, tetapi cukup dengan membayat pajak saja, sehingga kas negara cepat terisi sehingga krisis bisa cepat berlalu”. Ijtihad seperti ini sangat dilarang, karena nash-nya telah jelas.
Ketiga, sifat yang harus dimiliki oleh orang yang mema’murkan masjid adalah sholaata wa aataz zakaata (dan yang menunaikan zakat). Memperhatikan masalah zakat ini sangat penting, karena ini menyangkut upaya untuk senantiasa membersihkan diri dari berbagai macam kekotoran hati, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. 9:103)
Keempat, walam yakhsya illallaah (dan tidak takut kepada siapapun selain kepada Allah). Penggalan ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa seorang aktivis masjid adalah orang yang kehidupannya penuh dengan ‘izzah. Kenapa ? Karena ia tidak takut kepada siapa pun kecuali hanya kepada Allah SWT. Seorang aktivis masjid bukanlah orang yang senang merengek-rengek dan meminta-minta, akan tetapi orang yang mempunyai ‘izzah robbaniyyah, yang mempunyai gengsi robbani, yang dipenuhi dengan berbagai kemuliaan karena senantiasa berafiliasi dengan aturan-aturan Allah SWT. Oleh karena itu tidak pantas seorang aktivis masjid menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya.
Jadi ada empat sifat yang harus dimiliki oleh orang yang berhak untuk mema’murkan masjid, yaitu beriman kepada Allah, beriman kepada hari akhir, menegakkan sholat, membayar zakat dan orang yang tidak takut selain kepada Allah SWT. Jadi kalau ada orang yang senantiasa meramaikan kegiatan di masjid seperti selalu sholat berjama’ah di masjid dan juga meramaikan kegiatan masjid lainnya, maka ia mendapatkan legitimasi dari Allah SWT bahwa dia memang benar-benar termasuk orang yang beriman. Adalah mudah bagi setiap manusia untuk mengatakan bahwa dirinya beriman, akan tetapi tidak mudah untuk mendapatkan pembenaran dari Allah SWT bahwa keimanannya benar. Dan diantara syarat agar Allah memberikan pembenaran Allah atas keimanan kita adalah ketika kita termasuk orang yang senantias mema’murkan masjid, diantaranya adalah kita senantiasa sholat berjama’ah di masjid ketika waktu sholat sudah masuk.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Sa’id al-Khudri dikatakan “Anna Rasulullah SAW qool “Idza ro’aitumur rojulun ya’taadil masjida, fa asyhidu lahu bil iiman (Rasulullah SAW bersabda “Jika kalian melihat seseorang yang senantiasa mendekatkan diri di masjid, maka saksikanlah bahwa dia seorang yang beriman)”. Hadits ini menunjukkan kepada kita tentang betapa pentingnya sholat berjama’ah di masjid, karena dengannyalah kita mendapatkan pengakuan atas kebenaran keimanan kita. Oleh karena itu bagi kita yang aktif berda’wah, jangan hanya sekedar berbicara bahwa sholat berjama’ah lebih utama daripada sholat sendirian, akan tetapi hendaklah kita pahami dan kita pahamkan kepada masyarakat kita bahwa sholat berjama’ah merupakan sebuah keharusan. Bahkan dalam fiq-hul Islami, sebagian besar imam madz-hab mengatakan bahwa sholat jama’ah hukumnya fardlu ‘ain (wajib bagi setiap orang). Dan dalil dipergunakan untuk menyimpulkan hal ini memang kuat, diantaranya karena Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkan sholat berjama’ah sampai akhir hayatnya. Ketika beliau menjelang dipanggil Allah, barulah posisi beliau sebagai imam sholat berjama’ah digantikan oleh Abu Bakar. Bahkan ketika perang pun, Rasulullah SAW tidak meninggalkan sholat berjama’ah. Semua ini menunjukkan pentingnya sholat berjama’ah, dan ia merupakan standar dari kebenaran keimanan seseorang. Bahkan, Rasulullah SAW mengatakan “Awwalu maa yahaasabu ‘ala ‘abdi yaumal qiyaamati ash-sholah (amal yang pertama kali dihisab oleh Allah SWT adalah sholat).
Nilai seorang muslim bergantung pada sejauh mana ia mengaplikasikan ajaran Islam dalam kehidupannya. Jadi kemuliaan seorang muslim bukan ditentukan oleh banyaknya ilmu yang dimilikinya, atau banyaknya kekayaan yang dikumpulkannya, atau karena ketenarannya di masyarakat. Hamba Allah SWT yang selalu sholat berjama’ah di masjidlah, yang mendapatkan kesaksian dari Rasulullah SAW bahwa keimanannya benar. Oleh karena itulah ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan Allah yang berbunyi fa ‘asaa ulaa-ka an yakuunuu minal muhtadiin (maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk). Dari penutup ayat ini bisa kita simpulkan bahwa indikasi daripada aorang yang mendapatkan hidayah Allah adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, mendirikan sholat, membayar zakat dan ia tidak takut selain kepada Allah SWT.
Dari ayat yang kita tadabburi ini kita mendapatkan pemahaman bahwa orang kafir dilarang untuk masuk ke dalam masjid, kecuali karena suatu kebutuhan yang tidak bisa ditinggal. Namun itu pun harus mendapatkan idzin dari ummat Islam yang benar-benar komitment dengan Islam. Kenapa orang kafir dilarang masuk masjid ? Karena pada dasarnya mereka najis, sekalipun menurut sebagian Ulama najis yang dimaksud di sini adalah najis ma’nawi. Allah berfirman:
Yaa ayyuhalladziina aamanuu innamal musyrikuuna najasun falaa yaqrobul masjidal harooma ba’da ‘aamihim haadzaa, wa in khiftum ‘ailatan fasaufa yughniikumu-Allahu min fadhlihii insyaa, inna-Allaaha ‘aliimun hakiim
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mengdekati Masjidil Haram sesudah tahun ini,maka Allah nanti akan memberi kekayaan kepadamu karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 9:28).