Menyelami Surah Al-Fatihah

Oleh : Ust. A. Mudhoffar, MA

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah Al-Fatihah makkiyyah ataukah madaniyyah. Dalam hal ini, terdapat tiga pendapat. Pendapat pertama, sebagaimana yang dianut oleh Ibnu Abbas dan yang lainnya, mengatakan bahwa Al-Fatihah adalah surat makkiyah. Pendapat kedua, sebagaimana yang dianut oleh Abu Hurairah dan yang lainnya, mengatakan bahwa Al-Fatihah adalah surat madaniyah. Sedangkan pendapat ketiga mengatakan bahwa Al-Fatihah diturunkan dua kali, pertama di Mekkah dan selanjutnya di Madinah. Ibnu Katsir lebih menguatkan pendapat pertama, yakni yang mengatakan bahwa Al-Fatihah adalah surat makkiyah, yakni surat yang turun di Makkah sebelum peristiwa hijrah, dan bukan surat madaniyah.

Keistimewaannya

Surat Al-Fatihah adalah surat Al-Qur’an yang paling sering dibaca oleh setiap muslim, yakni dalam setiap rakaat shalatnya setiap hari. Bahkan surat ini adalah surat yang wajib dibaca pada setiap rakaat sholat, sebagaimana  disebutkan dalam sebuah hadits muttafaq ‘alaih (riwayat Bukhori dan Muslim) : “Sholat yang tidak dibaca Al Fatihah didalamnya adalah tidak sah”. Hal ini tentu menunjukkan bahwa surat ini benar-benar istimewa, melebihi surat-surat yang lainnya.

Keistimewaan Al-Fatihah juga bisa dilihat dari banyaknya nama-nama yang begitu istimewa, yang diberikan kepadanya. Setidak-tidaknya, ada tiga belas nama yang diberikan kepada surat ini, sebagian besarnya berdasarkan hadits-hadits Nabi dan beberapa diantaranya diberikan oleh sahabat Nabi. Surat ini disebut 1) Al-Fatihah, yang berarti : Pembukaan, dan juga 2) Fatihatul Kitab, yang berarti : Pembukaan Kitab (Al-Qur’an), karena surat ini adalah surat pertama yang ada dalam mushhaf Al-Qur’an. Surat ini disebut juga dengan 3) Ummul Qur’an, yang berarti : Induk Al-Qur’an, 4) Ummul Kitab, yang berarti : Induk Kitab (Al-Qur’an), dan juga 5) Al-Qur’anul ‘Azhim, karena ia mengandung secara global tujuan-tujuan pokok dan inti dari kandungan Al Qur’an seluruhnya.

Terkadang, surat ini disebut juga dengan 6) Surat Al-Hamd, karena dimulai dengan kata Al-Hamd. Begitu vitalnya surat ini dalam shalat, karena memang shalat tidak sah tanpa dibacanya surat ini, disebut pula surat ini sebagai 7) Surat Ash-Shalat. Sebutan lain yang juga populer untuk surat ini adalah 8) As-Sab’ul Matsani, yang berarti : Tujuh Ayat yang Diulang-ulang, karena surat ini terdiri dari tujuh ayat yang dibaca berulang kali, yakni dalam setiap rakaat shalat.

Berdasarkan hadits-hadits yang menyatakan bahwa surat ini telah digunakan oleh para sahabat untuk meruqyah dan berhasil dengan izin Allah, surat inipun dinamakan dengan 9) Ar-Ruqyah, dan bahkan 10) Asy-Syifaa’ yang berarti kesembuhan itu sendiri. Juga, surat ini disebut sebagai 11) Al-Waaqiyah, yang berarti : Penjaga.

Adapun diantara nama yang diberikan oleh sahabat Nabi kepada surat ini adalah 12) Al-Kaafiyah, yang artinya : Yang Mencukupi. Nama ini diberikan oleh Imam Al-Baghawi karena surat ini dianggap bisa menggantikan yang lainnya tetapi tidak sebaliknya. Ibnu Abbas menyebut surat ini sebagai 13) Asas Al-Qur’an, yang berarti : Pondasi Al-Qur’an.

Berbagai keistimewaan Al-Fatihah juga banyak dinyatakan dalam hadits-hadits nabi, diantaranya adalah riwayat-riwayat berikut ini.

Didalam masjid, Rasulullah suatu ketika bersabda kepada Abu Sa’id,”Sungguh aku akan mengajarkan kepadamu surat yang paling agung dalam Al-Qur’an sebelum engkau keluar dari masjid”. Ketika Nabi hendak keluar masjid akan tetapi belum mengatakan apapun, Abu Sa’id mengingatkan,”Bukankah engkau akan mengajari aku, wahai Rasulullah?” Nabi menjawab,”Ya, (surat itu adalah) Al-hamdulillahirabbil ‘alamin (dst, yakni QS Al-Fatihah). Ia adalah Tujuh Ayat yang Diulang-ulang (As-Sab’ul Matsani) dan Al-Qur’an Yang Agung (Al-Qur’an Al-‘Azhim) yang diberikan kepadaku (oleh Allah)” (HR Al-Bukhari).

Dari Ibnu Abbas ra, beliau berkata,”Ketika Nabi sedang bersama Jibril, tiba-tiba beliau mendengar suara bergemuruh dari langit sehingga beliau mendongakkan kepalanya. Jibril berkata,’Sesungguhnya itu adalah langit yang dibuka padahal sebelumnya belum pernah dibuka sama sekali’. Maka muncullah seorang malaikat yang kemudian datang kepada Nabi dan berkata,’Bergembiralah dengan dua cahaya yang tidak pernah diberikan kepada seorang nabi pun kecuali engkau, yaitu Fatihatul Kitab dan ayat-ayat penutup Surat Al-Baqarah. Tidaklah engkau mengucapkan huruf-hurufnya kecuali pasti diberi (dikabulkan)” (HR Muslim, Nasa-i, dan lain-lain).

Dalam hadits qudsi (riwayat Muslim, Ahmad, Abu Daud dan lain-lain), Allah berfirman (yang artinya), “Aku bagi Al-Fatihah antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian, dan untuk hamba-Ku sesuai apa yang dipintanya”. Maka jika seseorang membaca : Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, maka Allah berfirman, ”Hamba-Ku telah memuji-Ku”. Jika ia membaca : Ar-rahmanir rahim, maka Allah berfirman,”Hamba-Ku telah menyanjung-Ku”. Apabila ia membaca : Maliki yaumid din, maka Allah berfirman,”Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku”. Dan apabila ia membaca : Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, maka Allah pun berfirman,”Ini adalah bagian pertengahan antara Aku dan hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku sesuai apa yang dipintanya”. Lalu jika ia membaca : Ihdinash shirathal mustaqim, shirathal ladzina an’amta ’alaihim, ghairil maghdhubi ’alaihim wa ladh dhaalliin, maka Allah berfirman,”Ini bagian hamba-Ku dan untuk hamba-Ku sesuai apa yang ia pinta.”

Hukum Membaca Al-Fatihah dalam Shalat

Ada beberapa pendapat mengenai hukum membaca Al-Fatihah dalam shalat. Pendapat pertama mengatakan bahwa Al-Fatihah wajib dibaca oleh setiap orang dalam shalatnya, baik ia shalat sendirian, sebagai imam, ataupun sebagai makmum. Diantara argumentasi adalah keumuman hadits Nabi : ”Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Fatihatul Kitab”. Pendapat kedua mengatakan bahwa Al-Fatihah hanya wajib dibaca oleh imam dan orang yang shalat sendirian, sedangkan makmum sama sekali tidak wajib membaca Al-Fatihah baik ketika imam membacanya keras (jahri) ataupun pelan (sirri). Argumentasinya adalah hadits Nabi : ”Bagi orang yang menjadi makmum, bacaan imam sudah mencukupi baginya”. Adapun pendapat ketiga mengatakan bahwa Al-Fatihah wajib dibaca oleh imam, orang yang shalat sendirian, dan makmum pada saat imam membacanya pelan. Diantara ketiga pendapat diatas, pendapat pertama dan pendapat ketiga adalah pendapat yang lebih kuat sedangkan pendapat kedua adalah pendapat yang paling lemah.

Hukum Membaca Basmalah Ketika Membaca Al-Fatihah dalam Shalat

Pada setiap bacaan Al Quran, disunnahkan agar dimulai dengan ta’awudz (QS An Nahl 16:98). Sementara basmalah dibaca pada permulaan setiap surat kecuali Surat At-Taubah (Bara’ah, QS : 9). Demikian pula, sangat dianjurkan dalam setiap aktivitas seorang muslim senantiasa memulai semua aktivitasnya dengan mengucapkan basmalah (HR Abu Dawud).

Hanya saja, dalam masalah membaca basmalah ketika membaca Al-Fatihah dalam shalat, terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama. Jumhur ulama (madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali), sebagaimana telah dinyatakan dalam bagian Pendahuluan, berpendapat bahwa basmalah adalah bagian dari Al-Fatihah. Karena itu, basmalah harus dibaca ketika membaca Al-Fatihah dalam shalat. Hanya saja, madzhab Syafi’i mengharuskan basmalah dibaca secara keras pada rakaat pertama dan kedua shalat-shalat jahri, sedangkan madzhab Hanbali memilih untuk membaca basmalah secara pelan, meski pada rakaat pertama dan kedua shalat-shalat jahri.

Madzhab Maliki, sebagaimana juga telah dinyatakan dalam bagian Pendahuluan, berpendapat bahwa basmalah bukanlah bagian dari Al-Fatihah dan karenanya makruh jika dibaca – keras ataupun pelan – ketika membaca Al-Fatihah dalam shalat. Pendapat madzhab Maliki ini jelas-jelas bertentangan dengan pendapat sebelumnya. Pendapat sebelumnya mengharuskan dibacanya basmalah ketika membaca Al-Fatihah dalam shalat, dan jika tidak dibaca berarti shalatnya tidak sah karena Al-Fatihah yang dibaca tidak sempurna (sementara Al-Fatihah termasuk rukun shalat).  Namun berkebalikan dengan itu, madzhab Maliki justeru memakruhkan dibacanya basmalah ketika membaca Al-Fatihah dalam shalat. Meski demikian, ternyata dalam kenyataannya para ulama terdahulu yang saling berbeda pendapat itu bisa menunjukkan toleransi yang tinggi antara satu dan yang lainnya. Para ulama dari madzhab-madzhab selain Maliki biasa menjadi makmum di Masjid Nabawi atau masjid-masjid lain di Madinah yang sudah pasti ketika itu diimami oleh para imam bermadzhab Maliki (karena ketika itu Madinah adalah pusat madzhab Maliki). Ini adalah contoh yang sangat baik bagi kita semua dalam hal toleransi terhadap perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah.

Kandungan Surat Al-Fatihah Secara Umum

Secara umum seluruh isi Al Qur’an berbicara tentang hal-hal yang terkait dengan penjelasan hak-hak Al-Khaliq (Allah Sang Pencipta) atas makhluk-Nya, kebutuhan dan ketergantungan makhluk pada Khaliq-nya dan pengaturan pola hubungan antara sang Khaliq dan makhluk ciptaan-Nya. Dan semua itu secara global telah disinggung dalam tujuh ayat surat yang agung ini.

Al Fatihah dimulai dengan basmallah, yakni dengan menyebut nama Allah yang memiliki sifat Rahmah (kasih sayang) yang sangat luas tak berujung dan tak bertepi. Tanda-tanda Rahmah Allah ini terlihat jelas pada segala sesuatu. Ini menyiratkan makna yang sangat indah bahwa Rahmah inilah yang merupakan asas dan dasar hubungan hamba dengan Rabb-nya. Oleh karena itu sangat tepat jika setelah itu lalu ditegaskan bahwa, hanya Allah sajalah yang berhak atas segala bentuk puja dan puji, berkat kebesaran kenikmatan dan keluasan kerahmatan-Nya yang tampak jelas pada penciptaan, penguasaan, pengaturan dan pemeliharaan atas seluruh alam.

Maka diulangi sekali lagi penyebutan sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim tersebut, untuk lebih mengingatkan dan menegaskan makna yang dimaksud. Namun disamping sifat rahmah, Allah juga bersifat adil dan akan mengadili hamba-Nya setelah memberikan segala bentuk kerahmatan, pada hari kiamat hari pengadilan dan pembalasan. Pada hari itu tak satu makhluk pun berani mengaku-ngaku atas bentuk kepemilikan dan kekuasaan apapun. Segalanya benar-benar hanya milik Allah semata (QS Ghafir [40] : 16, Al Infithar [82] : 19).

Jadi tarbiyah Allah untuk makhluk-Nya itu tegak atas dasar pemaduan antara unsur targhib (penggairahan, pemberian harapan) melalui sifat Rahmah-Nya dan unsur tarhib (ancaman, peringatan) melalui pengadilan dan keadilan-Nya. Jika demikian adanya maka setiap hamba atau manusia wajib berupaya mencari dan menemukan jalan keselamatan bagi dirinya, dan untuk itu hanya ada satu jalan. Dialah jalan ibadah kepada Allah SWT, yang memang merupakan tujuan utama penciptaannya dan risalah kewujudannya di muka bumi ini. (QS Adz- Dzariyat [51] :56).

Namun untuk menapaki jalan ini bukan perkara yang mudah, berbagai aral melintang, ujian, cobaan dan godaan senantiasa siap memalingkan dan membelokkan. Oleh karena itu manusia mukmin diarahkan agar senantiasa memohon petunjuk dan hidayah Allah SWT, agar dijaga untuk tetap istiqomah diatas jalan lurus tersebut, dan digabungkan (atas dasar wala’ : cinta, kesetiaan dan loyalitas) bersama kafilah termulia, kafilah manusia-manusia pilihan yang memperoleh kenikmatan hakiki dari Allah SWT ; para nabiyyin, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin (An Nisa’ [4] : 69). Serta agar benar-benar bisa bara’ (melepaskan dan menjauhkan diri) dari kafilah-kafilah manusia-manusia yang dimurka karena kedurhakaannya dan yang tersesat jalan. Amiin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *