Menapaki Jejak Sang Idola

Jika Seorang Panutan Diukur Dari Kesempurnaan Fisiknya, maka tengoklah pribadi yang satu ini

Sekali pandangan seseorang terpaut kepada diri Rasulullah, maka ia akan merasa dihadapkan pada suatu keindahan yang mencengangkan, sukar dicari bandingannya. Secara lahiriah saja sudah menumbuhkan kepercayaan yang utuh terhadap beliau. Dan inilah semacam kesepakatan yang dilontarkan orang-orang yang pernah menyaksikan beliau.

Ad-darimi dan Al-Baihaqi meriwayatkan dari Jabir bin Samrah, ia berkata,

“Aku pernah melihat Nabi pada suatu malam idhhiyan. Aku memandang beliau dan memandang bulan secara bergantian. Sungguh beliau lebih indah daripada rembulan dalam pandanganku.”

Tirmidzi dan Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata,

“Aku tak melihat sesuatu yang lebih bagus dari Rasullullah. Seakan-akan sang mentari merambah di wajahnya. Aku tak melihat seseorang yang lebih cepat jalannya dari beliau, seakan-akan bumi terlintasi olehnya. Sungguh kami telah kepayahan, sedang beliau tetap kelihatan tenang.”

Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Samrah tentang ciri wajah beliau, ia berkata,

“Bahkan seperti mentari dan rembulan dengan bentuknya yang bulat.”

Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Al-Barra’, ia berkata,

“Rasulullah adalah orang yang paling bagus wajahnya, paling baik ciptaannya, tidak terlalu tinggi dan tidak pula pendek.”

Muslim meriwayatkan dari Abu Thufail, bahwa dia pernah ditanya, “Tolong beritahukan (sifat) Rasulullah kepada kami.” Maka ia berkata, “Kulitnya putih ( bersih ) dan wajahnya bersinar. “

Ad-Darimi, Al-Baihaqi, Ath-Thabrani, dan Abu Nu’aim meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata “Aku pernah berkata kepada Rabi’ binti Ma’wad, “tentang sifat Rasulullah kepadaku”, maka ia menjawab, “Kalau seandainya kau memandangnya tentu kau akan berkata, “Matahari sedang terbit.”

Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata,

“Rasulullah mempunyai telapak kaki yang besar , bagus wajahnya, aku belum pernah melihat sesudahnya orang seperti beliau.”

“Abu musa Al-Madini meriwayatkan dari Ahmad bin Abad Al-Hadhrami, ia berkata, “Aku pernah memandang Rasulullah. Belum pernah kulihat sebelum dan sesudahnya orang yang seperti beliau.”

Ad-Darimi meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata,”belum pernah kulihat orang yang lebih pemberani, murah hati, dan berseri wajahnya daripada Rasulullah.”

Ahmad dan Al-Baihaqi meriwayatkan dari Mahrasy Al-Ka’bi, ia berkata,”Pada suatu malam Nabi pernah melakukan umrah dari Ji’ranah, lalu aku melihat punggungnya, seakan-akan beliau adalah leburan perak.”

Pamannya abu Thalib, merangkum syair tentang Nabi:

“Putih bercahaya,

awan berarak di wajahnya,

pemelihara anak-anak papa,

pelindung para janda.”

(Syair)

Abdullah bin Imam Ahmad dan Al-Baihaqi meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata,

“Badan Nabi tidak terlalu tinggi, namun di atas ukuran rata-rata. Bila mendatangi suatu kaum, beliau membanjirinya dengan rona wajah yang berseri. Ukuran kepala beliau besar, rambutnya panjang, matanya hitam, dan butir-butir keringat di wajahnya seakan manik-manik mutiara. Belum pernah kulihat sebelum dan sesudahnya orang seperti beliau.”

Hindun binti Abu Halah menguraikan sifat Rasulullah dengan panjang lebar :

“Badan Rasulullah besar perkasa, wajahnya berkilau laksana pijar rembulan di malam purnama, besar ukuran kepalanya, rambutnya berombak. Warna kulitnya putih berseri, lebar dahinya, lebat alisnya serta panjang, tapi pangkal keduanya tidak sampai bertemu. Di antara keduanya ada jarak berupa lekukan-lekukan yang seakan mengusir kesan marah. Mancung hidungnya, seakan disana ada sinarnya. Jenggotnya lebat dan matanya hitam. Kulit pipinya halus. Mulutnya lebar. Giginya putih mengkilat dan agak renggang. Rambutnya lembut. Leher jenjang dengan postur tubuh yang kekar dan gempal. Perut dan dada rata. Dadanya bidang, begitu pula bahunya. Lengannya panjang. Telapak tangan dan kakinya lebar serta tebal. Jari-jarinya panjang. Lekukan telapak kakinya sedang. Jalannya cepat sekali, seakan melintasi jalan menurun. Apabila menoleh, semua anggota badannya ikut bergerak. Ia lebih banyak memandang ke tanah daripada memandang langit ……” “Dan apabila beliau memegang seseorang, pasti ia akan merasakan perasaan damai yang menakjubkan dan seakan ada sentuhan rohani yang aneh.”

Ahmad meriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash. Ia berkata, “Aku sedang sakit di Mekkah. Lalu Rasulullah masuk ke rumahku untuk menjenguk. Beliau meletakkan tangan di kening lalu diusapkannya ke wajah, dada, dan perutku. Masih dapat kurasakan elusan dingin tangan beliau di dalam kalbuku walau sudah berlalu satu jam lamanya.”

Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Samrah yang berkata “Rasulullah pernah memegang pipiku”. Kurasakan elusan yang dingin ditangannya dan juga aroma yang harum seakan-akan tangan beliau baru keluar dari bejana minyak wangi.”

Asy-syaikhani meriwayatkan dari Anas, ia berkata,

“Aku belum pernah menyentuh kain beludru dan sutra yang lebih lembut dari telapak tangan Rasulullah.Dan aku belum pernah mencium bau minyak wangi dan anbar (jenis minyak wangi) yang lebih harum dari aroma Rasulullah. ”

Pandangan beliau memberi ilham kepada seseorang yang memandangnya, bahwa ia berhadapan dengan seorang Nabi.

Tarmidzi meriwayatkan dari Abdullah bin Salam, ia berkata, “Ketika Nabi datang pertama kali di Madinah, aku mendekatinya untuk melihat. Setelah wajahnya dapat kulihat dengan jelas, aku langsung tahu, wajah itu bukan tipe pembohong.”

Dari Abu Ramtsah yang berkata,

“Aku mendatangi Nabi dengan membawa serta anakku untuk memperkenalkannya. Setelah aku melihatnya, kukatakan pada anakku, “Ini adalah Nabi Allah.”

Abdullah bin Rawahah menjelaskan tentang sifat beliau, “Meski tidak ada ayat-ayat yang menjelaskannya, niscaya hanya dengan pandangannya saja sudah menjelaskan kabar kenabiannya.”

Jika Seorang Panutan Diukur Dari Kemuliaan Pribadinya, maka tataplah pribadi yang satu ini

Apa yang saudara pikirkan tentang seorang laki-laki berperangai amat mulia, yang lahir dan dibesarkan di celah-celah kematian demi kematian orang-orang yang amat mengasihinya? Lahir dari rahim sejarah, ketika tak ada seorangpun mampu mengguratkan kepribadian selain kepribadiannya sendiri. Ia produk ta’dib Rabbani (didikan Tuhan) yang menantang mentari dalam panasnya dan menggetarkan jutaan bibir dengan sebutan namanya, saat muaddzin mengumandangkan adzan.

Di rumahnya tak dijumpai perabot mahal. Ia makan di lantai seperti budak, padahal raja-raja dunia iri terhadap kekokohan struktrur masyarakat dan kesetiaan pengikutnya. Tak seorang pembantunya pun mengeluh pernah dipukul atau dikejutkan oleh pukulannya terhadap benda-benda di rumah.

Dalam kesibukannya ia masih bertandang ke rumah puteri dan menantu tercintanya, Fathimah Az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Fathimah merasakan kasih sayangnya tanpa membuatnya menjadi manja dan hilang kemandirian. Saat bani Makhzum memintanya membatalkan eksekusi atas jenayah seorang perempuan bangsawan, ia menegaskan: “Sesungguhnya yang membuat binasa orang-orang sebelum kamu ialah, apabila seorang bangsawan mencuri kamu biarkan dia dan apabila yang mencuri itu rakyat jelata mereka tegakkan hukum atas-nya. Demi Allah, seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri, maka Muhammad tetap akan memotong tangannya.”

Hari-harinya penuh kerja dan intaian bahaya. Tapi tak menghalanginya untuk — lebih dari satu dua kali — berlomba jalan dengan Humaira, sebutan kesayangan yang ia berikan untuk Aisyah binti Abu Bakar Ash- Shiddiq. Lambang kecintaan, paduan kecerdasan dan pesona diri dijalin dengan hormat dan kasih kepada Ash-Shiddiq, sesuai dengan namanya “si Benar”. Suatu kewajaran yang menakjubkan ketika dalam sibuknya ia masih menyempatkan memerah susu domba atau menambal pakaian yang koyak. Setiap kali para shahabat atau keluarganya memanggil ia menjawab: “Labbaik”. Dialah yang terbaik dengan prestasi besar di luar rumah, namun tetap prima dalam status dan kualitasnya sebagai “orang rumah”.

Di bawah pimpinannya, laki-laki menemukan jati dirinya sebagai laki-laki dan pada saat yang sama perempuan mendapatkan kedudukan amat mulia. “Sebaik-baik kamu ialah yang terbaik terhadap keluarganya dan akulah orang yang terbaik diantara kamu terhadap keluargaku.” “Tak akan memuliakan perempuan kecuali seorang mulia dan tak akan menghina perempuan kecuali seorang hina,” demikian pesannya.

Di sela 27 kali pertempuran yang digelutinya langsung (ghazwah) atau dipanglimai shahabatnya (sariyah) sebanyak 35 kali, ia masih sempat mengajar Al-Qur’an, sunnah, hukum, peradilan, kepemimpinan, menerima delegasi asing, mendidik kerumahtanggaan bahkan hubungan yang paling khusus dalam keluarga tanpa kehilangan adab dan wibawa. Padahal, masa antara dua pertempuran itu tak lebih dari 1,7 bulan.

Setiap kisah yang dicatat dalam hari-harinya selalu bernilai sejarah. Suatu hari datanglah ke masjid seorang Arab gunung yang belum mengerti adab di masjid. Tiba-tiba ia kencing di lantai masjid yang berbahan pasir. Para shahabat sangat murka dan hampir saja memukulnya. Sabdanya kepada mereka: “Jangan. Biarkan ia menyelesaikan hajatnya.”

Sang Badui terkagum. Ia mengangkat tangannya, “Ya Allah, kasihilah aku dan Muhammad. Jangan kasihi seorangpun bersama kami.” Dengan senyum ditegurnya Badui tadi agar jangan mempersempit rahmat Allah.

Ia kerap bercengkerama dengan para shahabatnya, bergaul dekat, bermain dengan anak-anak, bahkan memangku balita mereka di pangkuannya. Ia terima undangan mereka; yang merdeka, budak laki-laki atau budak perempuan, serta kaum miskin. Ia jenguk rakyat yang sakit di ujung Madinah. Ia terima permohonan ma’af orang.

Ia selalu lebih dulu memulai salam dan menjabat tangan siapa yang menjumpainya dan tak pernah menarik tangan itu sebelum shahabat tersebut yang menariknya. Tak pernah menjulurkan kaki di tengah shahabatnya hingga menyempitkan ruang bagi mereka. Ia muliakan siapa yang datang, kadang dengan membentangkan bajunya. Bahkan ia berikan alas duduknya dan dengan sungguh-sungguh. Ia panggil mereka dengan nama yang paling mereka sukai. Ia beri mereka kuniyah (sebutan bapak atau ibu si Fulan). Tak pernah ia memotong pembicaraan orang, kecuali sudah berlebihan. Apabila seseorang mendekatinya saat ia sholat, ia cepat selesaikan sholatnya dan segera bertanya apa yang diinginkan orang itu.

Pada suatu hari dalam perkemahan tempur ia berkata: “Seandainya ada seorang shalih mau mengawalku malam ini.” Dengan kesadaran dan cinta, beberapa shahabat mengawal kemahnya. Di tengah malam terdengar suara gaduh yang mencurigakan. Para shahabat bergegas ke arah sumber suara. Ternyata Ia telah ada di sana mendahului mereka, tegak di atas kuda tanpa pelana. “Tenang, hanya angin gurun,” hiburnya. Nyatalah bahwa keinginan ada pengawal itu bukan karena ketakutan atau pemanjaan diri, tetapi pendidikan disiplin dan loyalitas.

Ummul Mukminin Aisyah Ra. Berkata : “Rasulullah SAW wafat tanpa meninggalkan makanan apapun yang dimakan makhluk hidup, selain setengah ikat gandum di penyimpananku. Saat ruhnya dijemput, baju besinya masih digadaikan kepada seorang Yahudi untuk harga 30 gantang gandum.” Sungguh ia berangkat haji dengan kendaraan yang sangat sederhana dan pakaian tak lebih dari 4 dirham, seraya berkata,”Ya Allah, jadikanlah ini haji yang tak mengandung riya dan sum’ah. “Pada kemenangan besar saat Makkah ditaklukkan, dengan sejumlah besar pasukan muslimin, ia menundukkan kepala, nyaris menyentuh punggung untanya sambil selalu mengulang-ulang tasbih, tahmid dan istighfar. Ia tidak mabuk kemenangan.

Betapapun sulitnya mencari batas bentangan samudera kemuliaan ini, namun beberapa kalimat ini membuat kita pantas menyesal tidak mencintainya atau tak menggerakkan bibir mengucapkan shalawat atasnya: “Semua nabi mendapatkan hak untuk mengangkat do’a yang takkan ditolak dan aku menyimpannya untuk ummatku kelak di padang Mahsyar nanti.”

Ketika masyarakat Thaif menolak dan menghinakannya, malaikat penjaga bukit menawarkan untuk menghimpit mereka dengan bukit. Ia menolak, “Kalau tidak mereka, aku berharap keturunan dari sulbi mereka kelak akan menerima da’wah ini, mengabdi kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.”

Mungkin dua kata kunci ini menjadi gambaran kebesaran jiwanya. Pertama, Allah, Sumber kekuatan yang Maha dahsyat, kepada-Nya ia begitu refleks menumpahkan semua keluhannya. Ini membuatnya amat tabah menerima segala resiko perjuangan; kerabat yang menjauh, shahabat yang membenci, dan khalayak yang mengusirnya dari negeri tercinta.

Kedua, Ummati, hamparan akal, nafsu dan perilaku yang menantang untuk dibongkar, dipasang, diperbaiki, ditingkatkan dan diukirnya. Ya, Ummati, tak cukupkah semua keutamaan ini menggetarkan hatimu dengan cinta, menggerakkan tubuhmu dengan sunnah dan uswah serta mulutmu dengan ucapan shalawat? Allah tidak mencukupkan pernyataan-Nya bahwa Ia dan para malaikat bershalawat atasnya (QS 33:56 ), justru Ia nyatakan dengan begitu “explicit” perintah tersebut , “Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah atasnya dan bersalamlah dengan sebenar-benar salam.” Allahumma shalli ‘alaihi wa’ala aalih !

Setelah Nabi wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya – tidak percaya, Rasul Yang Mulia telahmeninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, ceritakan padaku akhlak Muhammad. Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yg sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.

Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad. Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata berkata, ceritakan padaku keindahan dunia ini!. Badui ini menjawab, bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini… Ali menjawab, engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam[68]: 4)

Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi yang sering disapa Khumairah oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-Qur’an (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur’an). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi itu bagaikan Al-Qur’an berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan Qur’an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak QS Al-Mu’minun[23]: 1-11.

Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.

Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi, Aisyah hanya menjawab, “ah semua perilakunya indah”. Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu. Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.

Nabi Muhammad jugalah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, mengapa engkau tidur di sini.Nabi Muhammmad menjawab, aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu. Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita? Nabi mengingatkan, berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya. Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.

Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat tersebut terlambat datang ke Majelis Nabi. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya. Rasul memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi mencium sorban Nabi.

Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat alas duduk kita. Bukankah kalau mendapat kartu lebaran dari seorang pejabat saja kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi, sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia.

Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca kitab-kitab hadits, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul selalu memujinya. Abu Bakar-lah yang menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika Rasul sakit. Tentang Umar, Rasul pernah berkata, syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan lewat jalan yang lain.Dalam riwayat lain disebutkan, Nabi bermimpi meminum susu. Belum habis satu gelas, Nabi memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud (ta’wil) mimpimu itu? Rasul menjawab ilmu pengetahuan.

Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Ustman karena itu Utsman menikahi dua putri nabi, hingga Utsman dijuluki dzu an-Nurain (pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya. Barang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang munafik.

Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan. Ah…ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.

Saya pernah mendengar ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah pun sangat menghormati Nabi Muhammad. Buktinya, dalam Al-Qur’an Allah memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad, Allah menyapanya dengan “Wahai Nabi”. Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau.

Para sahabatpun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan pada Nabi. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap rasul. Mereka ingin Rasul menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi memutuskan siapa, Abu Bakar berkata: “Angkat Al-Qa’qa bin Ma’bad sebagai pemimpin.” Kata Umar, “Tidak, angkatlah Al-Aqra’ bin Habis.” Abu Bakar berkata ke Umar, “Kamu hanya ingin membantah aku saja,” Umar menjawab, “Aku tidak bermaksud membantahmu.” Keduanya berbantahan sehingga suara mereka terdengar makin keras. Waktu itu turunlah ayat: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah kamu mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan dia seperti mengeraskan suara kamu ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus amal-amal kamu dan kamu tidak menyadarinya (al-hujurat 1-2)

Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata, “Ya Rasul Allah, demi Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali seperti seorang saudara yang membisikkan rahasia.” Umar juga berbicara kepada Nabi dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya setelah peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena takut amal yang lalu telah terhapus. Para sahabat Nabi takut akan terhapus amal mereka karena melanggar etiket berhadapan dengan Nabi.

Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi didatangi utusan pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi’ah. Ia berkata pada Nabi, “Wahai kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki. Jika kau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika Kau inginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau inginkan kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami”

Nabi mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, “Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?” “Sudah.” kata Utbah. Nabi membalas ucapan utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai pada ayat sajdah, Nabi bersujud. Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.

Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran bagaimana Nabi dengan sabar mendegarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Inilah akhlak Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara. Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup suara obrolan kita. Masya Allah!

Ketika Nabi tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada utusan kafir Mekkah yang meminta janji Nabi bahwa Nabi akan mengembalikan siapapun yang pergi ke Madinah setelah perginya Nabi. Selang beberapa waktu kemudian. Seorang sahabat rupanya tertinggal di belakang Nabi. Sahabat ini meninggalkan isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah menembus padang pasir, akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan perasaan haru ia segera menemui Nabi dan melaporkan kedatangannya. Apa jawab Nabi? “Kembalilah engkau ke Mekkah. Sungguh aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu.” Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi janji adalah suatu yang sangat agung. Meskipun Nabi merasakan bagaimana besarnya pengorbanan sahabat ini untuk berhijrah, bagi Nabi janji adalah janji; bahkan meskipun janji itu diucapkan kepada orang kafir. Bagaimana kita memandang harga suatu janji, merupakan salah satu bentuk jawaban bagaimana perilaku Nabi telah menyerap di sanubari kita atau tidak.

Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi berkata pada para sahabat, “Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di padang mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!” Sahabat yang lain terdiam, namun ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, “Dahulu ketika engkau memeriksa barisan di saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisi aku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut qishash hari ini.” Para sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya Umar langsung berdiri dan siap “membereskan” orang itu. Nabi melarangnya. Nabi pun menyuruh Bilal mengambil tongkat ke rumah Nabi. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi keheranan ketika Nabi meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat senekad itu setelah semua yang Rasul berikan pada mereka.

Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi. Nabi berkata, “lakukanlah!” Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi dan memeluk Nabi seraya menangis, “Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah.” Seketika itu juga terdengar ucapan, “Allahu Akbar” berkali-kali. sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sebelum Allah memanggil Nabi.

Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul pun sangat hati-hati karena khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada orang yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim Yang Maha Agung ditengah miliaran umat manusia. Jangan-jangan kita menjadi orang yang muflis. Na’udzu billah…..

Nabi Muhammad ketika saat haji Wada’, di padang Arafah yang terik, dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu Nabi dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, “Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?” Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi melanjutkan, “Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah ku sampaikan pada kalian wahyu dari Allah…..?” Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, “benar ya Rasul!”

Rasul pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, “Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah!”. Nabi meminta kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya.

Ada fragmen kisah lain tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah lewat kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu, meski langit  telah mulai menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap. Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, “Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan  cinta  kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada  kalian, sunnah dan Al Qur’an. Barang siapa mencintai sunnahku, berati mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga  bersama aku.”

Khutbah singkat  itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah  yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu  Bakar menatap mata itu  dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan  tangisnya. Ustman menghela napas  panjang  dan Ali menundukkan kepalanya  dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya  sudah tiba.

“Rasulullah akan meninggalkan kita semua,” desah hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta  itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia.  Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah  yang limbung saat turun dari mimbar.

Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa. Matahari kian  tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya  yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma  yang menjadi alas tidurnya.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang  yang berseru mengucapkan  salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi  Fatimah tidak mengizinkannya  masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata  Fatimah yang membalikkan badan dan menutup  pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah,  “Siapakah itu wahai anakku?” “Tak tahulah aku  ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah  lembut.

Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang  menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak  di kenang. “Ketahuilah, dialah yang! ;  menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan  pertemuan di dunia. Dialah malakul maut,” kata Rasulullah,  Fatimah pun menahan ledakkan  tangisnya.

Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril  yang sebelumnya sudah bersiap  diatas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah  dan penghulu dunia ini.

“Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan  Allah?” Tanya Rasululllah dengan suara yang  amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat  telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” kata  Jibril

Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar kabar ini?”  Tanya Jibril lagi. “Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku  kelak?”

“Jangan khawatir,  wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah  berfirman kepadaku : ‘Kuharamkan surga bagi siapa  saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya,” kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas.  Perlahan ruh Rasulullah ditarik Tampak seluruh tubuh  Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut  ini.”

Lirih Rasulullah  mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka.  “Jijikkah kau melihatku, hingga kaupalingkan  wajahmu Jibril?” Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar  wahyu itu. ” Siapakah yang tega, melihat kekasih  Allah direnggut ajal,” kata  Jibril.

Sebentar kemudian  terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang  tak tertahankan lagi. “Ya Allah, dahsyat niat maut  ini, timpakan saja semua siksa maut ini  kepadaku, jangan pada umatku.” Badan Rasulullah mulai  dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya  bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya.

“Uushiikum bis  shalati, wa maa malakat aimanukum, peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu.”

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya,   dan Ali  kembali mendekatkan  telinganya ke bibir Rasulullah yang  mulai kebiruan. “Ummatii, ummatii, ummatiii?” – “Umatku,  umatku,   umatku” Dan, pupuslah kembang hidup  manusia mulia itu.

Sahabat, andai Purnama Madinah itu bisa kita temui sekarang. Satu hal yang harusnya ingin kita sampaikan kepadanya, “Meski tidak sekemilau dan sebenderang cintanya sahabat, tidak seabadi cinta sahabat, perkenankanlah kami mencintaimu wahai kekasih yang ummi, dengan sebentuk cinta yang sederhana, dengan cinta yang lahir dari hati yang kadang ujudnya buruk rupa”.

Kini, mampukah kita  mencintai sepertinya? Allahumma sholli ‘ala Muhammad  wa baarik wa salim  ‘alaihi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *