Mentadabburi Ayat Kursi (2)

Oleh : DR. Azhami S.J.

Memahami ’Aqidah Secara Aplikatif

Pada pembahasan terdahulu kita sudah mengetahui bahwa memahami sifat atau nama Allah sebagaiman yang diterangkan dalam Al-Qur’anul Karim maupun al-hadits, adalah satu-satunya cara yang benar untuk mengenal Allah (ma’rifatullah). Ketika ada manusia yang berusaha mengenal Allah tetapi bukan dengan cara yang ditentukan Allah dan RasulNya, maka ia tidak akan bisa mengenal Allah dengan benar.

Sifat Allah sebagaimana yang dijelaskan pada ayat ini adalah bahwa hanya Dia-lah yang berhak untuk disembah. Dan konsideran dari hal tersebut adalah pertama, karena hanya Allah SWT saja yang hidup (al-hay) dalam arti yang sebenarnya. Makhluk selain Allah dikatakan hidup, akan tetapi kehidupannya hanyalah merupakan ma’na pinjaman (majazi) dari kehidupan Allah.

Sifat Allah yang kedua adalah Al-Qoyyum diterjemahkan dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai ‘Yang mengatur urusan makhluknya’, dengan sebenar-benarnya mengatur (lil mubalaghoh). Oleh karena itu jangan sampai kita terjebak dengan filsafatnya kaum sekuler yang mengatakan maa lillahi lillah, wa maa lil qoishor lil qoishor (apa saja yang untuk Allah berikanlah kepada Allah, dan apa saja yang untuk kaisar atau pemimpin maka berikanlah kepada kaisar atau pemimpin). Dari filsafat yang dipahami orang-orang sekuler ini berarti bahwa seorang pemimpin atau seorang presiden bisa semaunya saja dalam membuat aturan di negaranya, dan ia sama sekali tidak terikat dengan norma yang diberikan oleh Allah. Namun tidak demikian dalam pandangan Islam. Dalam Islam, seluruh aktivitas ummat manusia tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah, karena Allah mempunyai sifat Al-Qoyyum.

Oleh karena itu jangan sampai manusia berbuat curang, dimana mereka melokalisir keimanannya kepada Allah SWT. Misalnya dalam masalah yang berkaitan dengan masalah rizki, mereka ia percaya bahwa semua itu ada di bawah kekuasaan Allah. Namun yang berkaitan dengan pribadi, rumah tangga, dan negara, mereka tidak percaya kepada kekuasaan Allah, dan menganggap dirinya lebih mengetahui. Ini adalah sebuah kecurangan dalam ‘aqidah, dan sekaligus merupakan penyimpangan atas keyakinan yang dalam diri seorang hamba.

Pemikiran sekuler yang memisahkan antara hak Allah dengan hak pemimpin semacam ini diawali oleh pemikiran seorang filosof bernama Aristoteles. Ia mempunyai sebuah pendapat, dan pendapatnya ini akhirnya menstruktur dalam pemikiran para cendekiawan sekuler tersebut. Aristoteles mengatakan bahwa Allah itu laa yufakkiru fii ghoiri dzaatihi (Allah tidak akan memikirkan kepada selain dzatNya). Atau dengan kata lain dikatakan bahwa Allah laa yufakkiru fii makhluqotihi (Allah tidak memikirkan dan tidak mengatur makhluknya). Jadi menurut pemikiran Aristoteles, makhluk yang ada di jagad raya ini berjalan sendiri tanpa diatur oleh Allah SWT dalam menjalankan kehidupannya.

Dan pemikiran seperti ini kalau dikembangkan, akan menghasilkan pemahaman bahwa untuk mengetahui yang benar dan yang salah, yang haq dan yang bathil, manusia tidak memerlukan wahyu Allah, tetapi cukup dengan mengandalkan akalnya saja. Menurut pemikiran ini, dengan akalnya manusia bisa mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Dan pemikiran inilah yang menjadi salah satu pokok pemahaman ajaran mu’tazilah. Kesalahan pemahaman masalah ‘aqidah seperti ini disebabkan mereka tidak mengikuti jalan (manhaj) yang telah digariskan Allah SWT dan RasulNya dalam memahaminya.

Ketiga, sifat Allah selanjutnya yang menjadi argumentasi mengapa tidak ada yang berhak disembah selain Allah adalah (tidak mengantuk dan tidak tidur). Bahwa Allah tidak mengantuk dan tidak tidur, menunjukkan bahwa ilmu Allah sangat lengkap, universal dan absolut. Kenapa ? Karena kalau seseorang mengantuk atau tidur maka ilmunya tidak berfungsi. Bahkan orang yang bangun tidur seperti orang yang baru bangun dari kematian karena ruhnya baru saja dikembalikan oleh Allah SWT. Ketika orang sedang tidur, ia tidak bisa mengetahui apa pun yang terjadi di sekitarnya. Oleh karena itu ketika kita bangun dari tidur, Rasulullah SAW memberi contoh agar kita mengucapkan do’a yang berbunyi “Alhamdulillahilladzi ahyana ba’da maa amatana wa ilaihin nusyuur (segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami setelah kematian kami)”.

Karena hanya Allah-lah Dzat yang tidak pernah mengantuk dan tidak pernah tidur, maka sudah sewajarnya kalau hanya Allah saja yang wajib kita sembah. Sungguh suatu perbuatan yang ‘ajib (mengherankan dan aneh) ketika orang-orang kufar quraisy menyembah asnam (berhala), yang sama sekali tidak hidup dan tidak memberi sedikitpun manfaat maupun mudlorot. Berhala-berhala yang mereka buat sendiri, dan kemudian mereka sembah sendiri. Dan berkenaan dengan masalah asnam ini, di jaman kufar quraisy memang sangat sederhana dan terbuat dari kayu, batu atau pun bahan makanan, akan tetapi asnam pada jaman kita sekarang ini tidak seperti itu, karena kalau tetap seperti itu, maka tidak akan populer.

Asnam sekarang bisa berwujud adalah tokoh-tokoh masyarakat yang dikultuskan sehingga kesalahan apa pun yang dilakukannya akan tetap dicarikan pembenaran, undang-undang yang disucikan dan dikeramatkan sehingga tidak berani menggantinya sekali pun telah terbukti dengan nyata bahwa undang-undang itu tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman. Jadi walaupun wujudnya berbeda, namun asnam pada masa lalu dengan masa sekarang esensinya sama saja. Persamaannya adalah bahwa keduanya sama-sama makhluk, sama-sama dibuat sendiri oleh manusia, sama-sama dikeramatkan dan ditakuti sendiri. Manusia sekarang untuk menghukum, untuk memberi penghargaan, dan sebagainya diukur dengan peraturan yang mereka buat sendiri. Kalau sebuah bangsa atau masyarakat sudah terjebak dengan pemahaman semacam ini, yang terjadi adalah kesesatan dalam seluruh aktivitas kehidupannya. Allah berfirman :Ya Rabbku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 14:36).

Sifat Allah yang tidak mengantuk dan tidak tidur ini menunjukkan bahwa Allah SWT mempunyai ilmu yang sangat lengkap. Ketika sesuatu masih merasakan ngantuk atau tidur, ia tidak mungkin mempunyai kesempurnaan, sehingga tidak mungkin bisa mengatur sesuatu dengan sempurna. Karena hanya Allah-lah yang tidak pernah ngantuk dan tidak pernah tidur, maka hanya Allahlah yang berhak disembah.

Keempat, sifat Allah selanjutnya yang menjadi argumentasi bahwa hanya Allah-lah yang patut disembah adalah (Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi). Dalam penggalan ini ada kekhususan tata bahasa yang dipergunakan, yaitu adanya at-taqdim wat-ta’khir (ada bagian kalimat yang didahulukan dari yang seharusnya diakhirkan, dan ada yang diakhirnya dari yang seharusnya didahulukan), yaitu didahulukannya kata lahu daripada penggalan yang berbunyi maa fis samaawaati wamaa fil ardl, padahal dalam tata bahasa yang biasa, umumnya kata lahu diakhirkan. Dan kalau ada ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai uslub (cara peyampaian) seperti ini, menunjukkan adanya lil hasr yang artinya ‘hanya’.

Dari penggalan ini bisa kita pahami bahwa hanya bagi Allah-lah apa-apa  yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan kita juga mengetahui bahwa maa adalah asymalu mausulat (isim mausul yang paling integral). Yang termasuk isim mausul ada beberapa macam seperti maa, alladzi, allati dan semua turunannya. Dan kalau semua isim mausul itu dikumpulkan, maka yang paling integral adalah maa. Karena kekuasaan Allah meliputi apapun yang ada di langit dan yang ada di bumi, maka selalu dita’birkan (diekpresikan) dengan isim mausul yang berbunyi maa (apa saja).

Sifat Allah ini jangan sampai hanya dipahami sebagai suatu ‘aqidah secara salbiyah (secara pasif) saja, akan tetapi aqidah ini harus mengkristal dalam diri setiap muslim dan harus bersifat aplikatif. Artinya, kalau ‘aqidah kita mengatakan bahwa Allah Maha Mengetahui (Al-’Alim) apapun yang ada di bumi dan apapun yang ada di langit, maka seluruh aktivitas yang kita lakukan harus kita kembalikan pada ‘ilmullah, karena hanya dengan demikianlah apapun yang kita kerjakan mempunyai nilai yang benar. Dan sistem nilai yang dikeluarkan Allah ini akan tetap eksis dan tidak akan berubah selama-lamanya. Jangan sampai kita memahami bahwa Allah Maha ‘Alim (Maha Mengetahui), akan tetapi perbuatan kita tidak mau mengikuti ajaran Allah. Kalau demikian, sama saja kita membohongi pemahaman kita sendiri. Jadi ketika kita memahami bahwa Allah Maha ‘Alim (Maha Mengetahui), berarti seluruh aktivitas dalam kehidupan kita harus benar-benar kembali kepada ajaran Allah Yang Maha ‘Alim.

Manusia adalah bagian kecil dari kosmos jagad raya ciptaan Allah yang besar. Jadi kita merupakan bagian kecil dari sekian banyak ciptaan Allah. Kalau makhluk-makhluk Allah yang lainnya yang besar seperti langit, bumi dan sebagainya, semuanya tunduk kepada aturan Allah SWT, sementara kita yang merupakan bagian darinya tidak mau taat kepada aturan Allah, berarti kita telah menyimpang dari nidhomun namus (menyimpang dari ketentuan Allah yang berlaku di jagad raya ini). Dan ketika kita bersimpangan dengan aturan Allah yang ada di jagad raya ini, maka akan terjadi tasaddum (akan terjadi tabrakan-tabrakan) dalam diri kita sendiri. Kalau masyarakat tidak mau menegakkan aturan Allah dalam kehidupannya, maka akan terjadi tabrakan antara masyarakat dengan realita kehidupannya sendiri. Na’udzubillahi min dzalik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *