Bangunlah Saudaraku!

“Wahai orang yang berselimut. Bangunlah di malam hari, kecuali sedikit daripadanya!”

Demikianlah pemimpin mulia kita, Rasulullah SAW, diperintahkan oleh Allah dari sejak fajar masa kerasulannya. Bangun malam pernah menjadi suatu kewajiban tersendiri atas diri kaum mu’minin, sebelum Allah SWT meng-‘amandemen’ hukum wajibnya menjadi sunnah yang sangat diutamakan (sunnah mu’aqqad). Para shahabat r.a., yang dibina langsung oleh murrabi agung Rasulullah SAW, memiliki komitmen yang kuat untuk tidak meninggalkan walau semalampun untuk bangun malam, berkhalwah untuk mengadili diri sendiri (muhasabatun-nafs) di hadapan Rabb-nya. Hal ini pula yang selalu kita temukan pada diri orang-orang yang dikenal dalam sejarah sejarah sebagai para sholihin, penyeru dan pejuang di jalan Allah di setiap zaman.

Mari kita kembali sejenak pada kejadian pembebasan Syams -yang notabene adalah negara bagian Romawi Timur yang sangat ditakuti kekuatan militernya- oleh Islam. Saat itu intelijen musuh melaporkan pada komandannya bahwa pasukan kaum muslimin adalah pasukan yang personil-personilnya selalu berbuat kebajikan dan berda’wah di siang serta mereka selalu berdiri shalat di hadapan Rabb-nya di waktu malam. Dan karena informasi intelijen ini pulalah para penasihat spiritual musuh menasihati pemimpinnya bahwa mereka tidak akan pernah bias mengalahkan pasukan kaum muslimin jika informasi dari intelejen itu benar. Dan memang sejarah mencatat bahwa pasukan mulia itu tidak terkalahkan. Kunci gerbang Syams diberikan ke tangan kaum muslimin tanpa mengalami kesulitan berarti.

Peristiwa yang tak jauh berjarak waktu dengan kita pun memberikan pelajaran yang sama. Ustadz Hasan Al-Banna pernah suatu kali setelah sepanjang hari berkeliling melaksanan tugas-tugas da’wah beristirahat bersama salah satu sahabat dan muridnya. Waktu itu malam sudah larut, sahabatnya menceritakan bahwa ia lelah sekali setelah seharian menemani gurunya berkeliling. Ketika masing-masing sudah berbaring hendak tidur, setelah beberapa lama sang guru bertanya, “Sudah tidurkah engkau?”. “Belum.”, dijawab oleh muridnya. “Tidurlah”, karena nampaknya sang guru mengetahui betul bahwa tugas-tugas da’wah keesokan hari tidak akan lebih ringan daripada hari ini dan tubuh memiliki hak yang telah Allah tentukan. Beberapa lama kemudian beliau bertanya lagi, “Sudah tidurkah engkau?”. “Belum”, dijawab lagi oleh sang murid sambil dia bertanya-tanya sendiri di dalam hati, “Mengapa beliau menanyaiku seperti itu terus?”. Sang murid berniat jika gurunya menanyainya lagi untuk ketiga kalinya, dia akan diam agar disangka sudah tertidur. Ternyata benar, setelah beberapa saat berselang, dia ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Kali ini dia diam. Sang murid dengan tetap diam dan berpura-pura tidur, memperhatikan apa yang akan dilakukan Al-Ustadz. Ternyata apa yang dilakukan oleh Hasan Al-Banna? Tidak berapa lama, beliau bangkit dari pembaringannya. Beliau berdiri melaksanakan shalat malam, untuk ber-muhasabah dan mengadukan kelemahan diri serta mengadukan segala persoalannya pada Rabb-Nya. Sang murid tahu bahwa gurunya sama seperti dirinya juga telah lelah seharian berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain untuk melakukan tugas-tugas dakwah, bahkan sampai larut malam. Bagi para da’i, nampaknya lelah berdakwah di waktu siang hari tidak dapat dijadikan alasan untuk meninggalkan bangun di waktu malam untuk berkhalwat dengan Rabb-nya. Dan kini kita bisa merasakan sendiri pengaruh kebiasaan mulia ini pada diri seorang da’I besar ini.

Bagi seorang penyeru (da’i), kebiasaan shalat malam merupakan suatu kenicsayaan yang tidak bisa ditawar lagi. Allah SWT mengingatkan bahwa yang akan datang dan akan disampaikan oleh mereka adalah perkataan yang berat (qawlan tsaqiilaa). Perkataaan itu bukan seruan dan perkataan biasa, namun perkataan yang akan mengundang fitnah dan ujian serta cobaan. Sebagaimana pula orang-orang terdahulu yang telah mengemban dan menyampaikannya juga mendapatkan ujian yang berat. Aktifitas bangun malam ini adalah modal awal, bekal ruhiyah yang tidak bisa ditawar-tawar lagi sebagai seorang da’i di jalan Allah. Bolehlah qalbu seorang da’i itu dimisalkan sebagai sebuah bandara yang dipersiapkan untuk menerima pendaratan pesawat terbang. Maka jenis pesawat terbang yang bisa mendarat di bandara itu sangat ditentukan dengan kapasitas dan kualitas bandara yang bersangkutan. Bandara yang dirancang hanya untuk menerima pesawat kecil tentu tidak akan bias didarati oleh pesawat besar. Begitulah pula dengan qalbu dan jiwa seorang da’i. Perkataan yang akan dia terima dalam qalbunya (dan yang juga akan berbekas, diamalkan dan diserukannya kepada orang lain) akan sesuai dengan kapasitas dan kualitas qalbu yang dimilikinya. Semakin berat ajaran dan perkataan yang dia serukan, maka kapasitas dan kualitas ruhiyah sang da’i pun tentu harus semakin besar. Dan Allah telah memberikan jalan dan cara untuk mempersiapkan ‘bandara’ qalbu kita dengan bangun shalat di waktu malam.

Dalam shalat malam seorang muslim dibiasakan untuk menghilangkan berbagai penyakit dan kotoran yang menempel di dalam hatinya. ‘Ujub, riya dan cinta dunia akan dibersihkan jika yang bersangkutan sering mengingat Allah di dalam keheningan malam. Di keheningan malam, mengingat kematian akan lebih mengena dalam qalbu dibanding mendengarkan nasyid-nasyid pengingat yang kita sering dengar. Di samping itu, kita akan dapat lebih menghayati ayat-ayat Al-Qur’an yang kita baca pada saat malam yang sepi, karena siang hari kita memiliki berbagai persoalan yang menyita waktu. Air mata akan lebih mudah berlinang karena sadar atas kelemahan, kesalahan dan dosa-dosa yang kita perbuat.

Selain membersihkan hatinya, orang yang selalu menjaga shalat malamnya akan bisa membangun mahabbah terhadap Rabb-nya. Segala persoalan yang dia hadapi di dunia akan terasa kecil jika dia telah memilik rasa cinta yang tulus pada Allah. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa bangun di waktu malam adalah salah satu bukti syukur seorang hamba pada Khaliq-nya.

Khusus bagi seorang da’i, selain bermunajat dan ber-muhasabah atas dirinya, saat shalat malam adalah saat yang tepat baginya untuk mendokan ummat agar diberikan hidayah dan dikuatkan dalam ikatan keislamannya. Suatu hal yang naïf jika seorang da’i menyandarkan aktifitas seruannya hanya berdasar strategi dan kemampuan lahiriah saja (materi, retorika, manajemen, dsb) tanpa memperhatikan aspek ruhiyah dan faktor hidayah ilahi. Karena bagaimanapun hebatnya seorang da’i, yang diseru olehnya tidak akan menyambut seruannya jika Allah SWT tidak berkehendak mengubah hatinya. Do’a kita insya Allah menjadi salah satu jalan berdakwah. Seperti yang pernah Rasulullah SAW lakukan atas diri shabatnya.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka wajarlah jika terlontar istilah “Bagi seorang da’i dan aktifis Islam, adalah suatu maksiat jika ia dengan sengaja meninggalkan shalat malam”.

Jadi, bagaimana dengan kita?

Sumber : PPIK Jerman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *