Infaq Fii Sabilillah (3)

Kebersihan Niat Dalam Berifaq

oleh : DR. Azhami S.

Masjid Taj Mahal

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. 2:264)

Pada ayat ini Allah SWT masih menerangkan kepada kita tentang masalah infaq fii sabilillah. Allah SWT menerangkan tentang thobi-atul infaq, yaitu bahwa infaq merupakan dinamika dan perkembangan kejiwaan manusia. Jadi orang yang mau menginfaqkan sebagian harta bendanya pada dasarnya adalah orang yang dinamis dan berkembang karena telah membersihkan dirinya dari penyakit bakhil.

Dari segi bahasa, aktivitas mengeluarkan sebagian harta di jalan Allah disebut shodaqoh karena litadulla ‘ala shidqi imaani shohibiha (menunjukkan kebenaran dan kejujuran keimanan pelakunya). Shodaqoh artinya ‘jujur’. Orang yang mengeluarkan shodaqoh menunjukkan bahwa ia telah berbuat jujur sesuai dengan keimanannya. Pada dasarnya perbuatan bershodaqoh atau mengeluarkan sebagian harta benda fii sabilillah adalah perbuatan berat, karena tidak ada manusia yang tidak conta pada harta benda. Bahkan karena tingginya kadar kecintaan tersebut, sampai-sampai Ulama’ mengatakan bahwa harta benda adalah saudara kandungnya nyawa (al-maalu syaqiiqur ruh). Oleh karena itu seorang muslim yang berjuang di jalan Allah dengan cara menginfaqkan harta bendanya, insyaAllah ia pun akan siap berjuang di jalan Allah dengan nyawanya. Dan karena demikian dekatnya hubungan harta dengan nyawa, ketika Al-Qur’an menerangkan tentang masalah jihad fii sabilillah, Al-Qur’an selalu mengatakan al-jaahidu bi amwalihim wa anfusihim (berjihad dengan harta dan jiwa).

Karena infaq merupakan indikasi dari dinamika (perkembangan) kebersihan hati seseorang dan masyarakat, Allah SWT mengingatkan kepada kita agar jangan sampai infaq yang kita lakukan itu kita rusak sendiri, karena kalau kita berbuat demikian berarti tidak dinamis lagi dan berubah menjadi statis sehingga jiwa kita akan mati. Na’udzubillahi min dzalik.

Pada ayat ini Allah mengatakan (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan orang yang menerima). Di sini Allah mengatakan laa tabthiluu (janganlah kamu menghilangkan). Al-ibthol fil lughoh (al-ibthol secara bahasa) artinya adalah al-izalah (menghilangkan). Dan jika sesuatu kehilangan manfaat, maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut :

Pertama, amal yang tidak sah, karena tidak terpenuhinya syarat dan rukun amal tersebut dengan sempurna (yang berkaitan dengan hal-hal yang wajib). Misalnya jika ada orang yang melaksanakan sholat, akan tetapi syarat atau rukunnya ada yang ditinggal, seperti ketika sholat ia tidak dalam keadaan suci, maka sholatnya tidak akan diterima oleh Allah. Ini artinya sholatnya itu tidak bisa menggugurkan tanggung jawabnya di sisi Allah SWT.

Kedua, amal yang dilakukan sah karena syarat dan rukunnya terpenuhi, akan tetapi yang bersangkutan tidak mendapatkan pahala dari sisi Allah SWT. Hal ini disebabkan karena amal tersebut tidak dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah SWT, tetapi ada tujuan yang lain seperti karena perasaan riya’.

Kedua arti yang dijelaskan di atas bisa kita pergunakan untuk memahami ma’na ayat ini. Jadi pada ayat ini Allah SWT memberi peringatan kepada kita agar jangan sampai kita kehilangan pahala shodaqoh yang telah kita keluarkan. Cara yang bisa kita lakukan adalah jangan sampai kita bershodaqoh akan tetapi diiringi al-mann (mengungkit-ungkit) adza (menyakitkan menyakitkan hati penerima).

Pada penggalan selanjutnya Allah mengatakan (seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia). Ada beberapa hal yang perlu kita renungi berkenaan dengan bahasa yang dipergunakan pada penggalan ayat ini.

Pertama, pada penggalan ini Allah SWT tidak menyebut nama seseorang, akan tetapi hanya menyebut kata gantinya yaitu kalladzi (sebagaimana orang). Tujuan dari penggunaan kalimat seperti ini adalah lit ta’mim (untuk tujuan umum). Artinya, yang dimaksud dalam ayat ini bukan hanya orang tertentu saja, akan tetapi siapa saja yang menginfaqkan sebagian harta bendanya karena riya’. Infaq yang dikotori dengan rasa riya’, maka harta yang diinfaqkan itu tidak berkembang karena tidak mendapatkan pahala dari Allah SWT, dan hati orang yang berinfaq seperti itu juga tidak menjadi bersih karena ketika berinfaq hanya dilandasi dengan kesombongan dan untuk membuktikan kepada orang lain bahwa ia mampu menginfaqkan harta bendanya agar mendapatkan pujian dari sesama manusia. Agar yang seperti itu tidak terjadi pada kita, Allah SWT mengingatkan kita agar tidak berinfaq karena rasa riya’.

Kedua, berkenaan dengan kata riya’. Kata riya’ jika ditinjau dari segi bahasa mengikuti dengan wazan fi’al. Dan wazan fi’al itu mempunyai dua ma’na, yang pertama adalah lil mubalaghoh (untuk menyangatkan), dan yang kedua adalah lil katsroh (untuk membanyakkan). Dari sini kita bisa memahami bahwa orang yang riya’ ketika berinfaq hanya ingin sering dilihat oleh manusia.

Pada penggalan selanjutnya dikatakan (dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian). Dari penggalan ini kita bisa menyimpulkan bahwa seseorang yang berinfaq karena riya’, pada dasarnya ia telah melakukan perbuatan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang kafir yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan orang yang terkena penyakit riya’ ketika berinfaq, pada dasarnya ia menderita kerugian baik di dunia maupun di akherat. Di dunia orang seperti itu akan rugi karena hartanya akan berkurang atau bahkan habis karena diberikan kepada orang lain. Dan di akherat ia akan rugi pula karena perbuatannya itu sama sekali tidak mendatangkan manfaat di sisi Allah SWT.

Perumpamaan orang yang berinfaq karena perasaan riya’ kepada manusia adalah (Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih tidak bertanah). Jika kita menjumpai batu besar yang halus dan di atasnya terdapat seonggok tanah, ketika terkena hujan lebat maka tanah tadi pasti akan hilang bersama dengan aliran air yang mengalir di atas batu tersebut. Dan batu yang demikian adalah tempat yang sama sekali tidak bisa ditanami. Kalau pun dipaksakan ditanami, maka tanaman itu tidak akan tumbuh karena di atasnya tidak ada tanah sama sekali.

Jadi orang yang berinfaq karena dorongan rasa riya’-nya kepada manusia, adalah orang yang melakukan sesuatu yang sia-sia belaka. Akibatnya (Mereka tidak mendapatkan sesuatupun dari apa yang mereka usahakan). Jadi suatu amal yang dilandasi rasa riya’, tidak akan menghasilkan manfaat apapun bagi pelakunya. Mereka melakukan sesuatu yang sia-sia.

Allah menutup ayat ini dengan mengatakan (dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir).

Pada ayat ini Allah SWT memberikan perumpamaan yang sangat indah berkenaan dengan manusia yang menginfaqkan sebagian hartanya tetapi bukan di jalan Allah. Orang seperti ini ketika berinfaq semata-mata karean dorongan rasa riya’-nya kepada manusia. An-nafs (jiwa) orang yang riya’ ini tidak akan bisa berkembang sebagaimana tanah atau batu yang tandus yang tidak akan tumbuh satu tanaman pun di atasnya. Subhanallah, perumpamaan dengan tanah merupakan perumpamaan yang menarik bagi manusia, karena manusia pun diciptakan Allah SWT dari tanah. Kalau tanah tersebut berada di atas sebuah batu yang licin dan kemudian terkena air hujan, maka hilanglah tanah itu sehingga batu yang menjadi tempatnya semula tidak akan bisa ditanami lagi.

Ini adalah sebuah perumpamaan tasybihul ma’qul min tahshuush (perumpamaan dengan sesuatu yang bisa kita pahami dengan akal kita), dimana jiwa manusia yang sifatnya abstrak diumpamakan dengan sesuatu yang sifatnya riil (fisik), berupa debu atau tanah. Kita tahu bahwa sifat tanah bermacam-macam, ada yang subur dan ada pula yang tandus. Tanah yang subur jika ditanami dengan tanaman maka ia akan tumbuh dengan baik sehingga tanaman tersebut akan menghasilkan buah yang bisa dini’mati. Sedangkan pada tanah yang tandus sangat sulit bagi tanaman untuk tumbuh, dan kalau pun tumbuh tidak akan menghasilkan buah sama sekali. Dan tanah yang tandus seperti itu pada ayat ini diumpamakan seperti batu. Pada dasarnya hati manusia tidak jauh berbeda dengan tanah. Jika tanah ada yang tandus dan ada yang subur, demikian pula dengan hati manusia. Diantara manusia ada yang mempunyai hati yang lembut dan bersih, namun ada pula yang kasar dan keras. Hati manusia yang lembut dan bersih akan mudah ditumbuhi pohon keimanan, sehingga ia akan merasa ringan ketika diperintahkan untuk mengeluarkan shodaqoh dengan ikhlas. Dan pada gilirannya hati seperti ini akan menghasilkan buah berupa pahala dari Allah SWT.

Akan tetapi jika ada manusia yang mempunyai hati yang keras, sulit sekali ditumbuhi keimanan kepada Allah sehingga ketika Dia memerintahkan untuk mengeluarkan shodaqoh maka manusia seperti ini sulit untuk mentaatinya dan kalaupun terpaksa ia mengeluarkan shodaqoh, hal itu dilakukan dengan motivasi agar dipuji manusia (riya’), bukan atas dasar keimanan kepada Allah SWT. Na’udzubillah, semoga kita terhindar dari perasaan riya’ dalam mengerjakan seluruh aktivitas kita, baik dalam berinfaq, atau ketika menegakkan sholat, atau berda’wah, atau aktivitas yang lainnya. Kalau kita sudah terkena penyakit riya’, maka seluruh perbuatan yang kita lakukan tidak akan membawa manfaat sama sekali bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain.

Para salafuna sholeh memberikan teladan kepada kita dalam masalah menghindari riya’. Suatu ketika ada salah seorang diantara mereka yang akan melakukan sebuah amal, namun dalam hatinya ada perasaan riya’. Mengetahui hal itu, salah seorang salafuna sholeh ini langsung membatalkan amal yang akan dilakukannya. Pada kisah yang lain, ada seorang shohabat Rasulullah SAW, yang ketika akan naik mimbar untuk memberikan mau-idhohnya, disadarinya bahwa dalam hatinya ada sesuatu yang tidak benar. Menyadari hal itu, maka beliau turun kembali dari mimbar dan membatalkan diri dari memberikan mau-idhoh. Subhanallah. Kalau contoh seperti ini benar-benar kita teladani dalam kehidupan kita, sungguh kehidupan ini akan berlangsung dengan bersih. Contoh-contoh keikhlasan para salafuna sholeh ini adalah pelajaran yang sangat mahal untuk kita. Oleh karena itu jangan sampai potensi yang kita miliki sudah kita kerahkan untuk melaksanakan suatu amal, namun hal itu mubadzir dan tidak mendapatkan pahala dari Allah SWT, karena kita terkena penyakit riya’. Na’udzubillah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *