Kehebatan Al-Qur’an

Oleh : H. Syamsul Balda, SE, MM, MBA, MSc.

al qur'anKalau kita membaca dan menelusuri surah Al-Baqarah, di pembuka surah tersebut, akan di dapatkan sebuah statement Allah bahwa di dalam Al-Qur’an tidak ada satu ayat pun yang patut diragukan kebenaran dan otentisitasnya. Kemudian, di ayat-ayat berikutnya, Allah mengklasifikasi manusia dari dimensi teologi menjadi tiga jenis: Mu’min, Kafir, dan Munafik.

Setelah membagi dan menggolongkan jenis manusia, masih di awal surah tersebut, Allah menguatkan masing-masing pengertian di atas dengan mensugesti hati nurani manusia -agar terbuka menerima kebenaran- dengan ayat-ayat yang argumentatif, bukan sekedar stimulatif. Pendekatan yang digunakan sangat jelas dan tegas, sehingga diharapkan keyakinan dan iman manusia bertambah kuat dan kokoh. Setelah bukti-bukti naluriah, Allah menguatkan iman manusia dengan bukti-bukti teoritik.

“Dan jika kalian tetap dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surah (saja) yang semisal Al-Qur’an itu, dan ajaklah saksi-saksimu selain Allah, jika kalian memang orang-orang yang benar” (QS. 2:23).

Allah tidak pernah memaksa manusia. Islam datang untuk membebaskan akal manusia dari belenggu sistem yang ada. Islam memberi cahaya pelita agar akal mampu melihat nilai baik atau buruk.

Oleh karena itu, untuk meyakinkan eksistensi kemukjizatan Al-Qur’an, Allah menggunakan variasi-variasi pendekatan sebagai berikut:

Mula-mula meyakinkan mereka yang meragukan Al-Qur’an. Pada tahap ini, Allah menantang mereka agar dapat menunjukkan sebuah ‘duplikat’ Kitab yang menyamai Al-Qur’an. Boleh dibantu unsur manusia dan jin (QS. 17:88). Ketika mereka masih beranggapan Muhammad yang membuat Al-Qur’an dan meyakini tesisnya itu benar, sementara mereka tidak bisa membuat yang semisal, maka -dengan bijak- Allah menurunkan standar permintaan kepada mereka untuk mendatangkan sepuluh surah saja yang mereka buat dan mampu menyamai Al-Qur’an, sekalipun dibantu oleh para sastrawan handal. (QS. 11:13). Bahkan, ketika mereka tidak mampu membuat sepuluh surat, dan masih tidak meyakini kebenarannya, Allah mempersilahkan mereka membuat satu surah saja, walau pun dibantu oleh para pemimpin terkemuka. (QS. 2:23). Sebagai statement terakhir, setelah ternyata mereka terbukti tidak mampu, Allah memberikan peringatan secara keras, bahwa mereka harus tunduk, atau neraka yang berbahan bakar orang kafir itu sebagai tempat semayamnya.Biasanya, apabila Allah swt sampai membuat statemen yang disertai dengan ancaman, berarti permasalahan tersebut masuk dalam kategori VIP (Very Important Principle), masalah prinsip yang sangat penting.

Kehebatan Al-Qur’an

Kehebatan Al-Qur’an antara lain dapat dilihat dari dua sisi pendekatan :

Pertama: Pendekatan Historis

Telah dimaklumi bersama, bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang paling fasih lisannya dan paling utama bahasanya. Mereka membanggakan-banggakan kelebihan tersebut terutama pada tiga kesempatan, yaitu: ketika kelahiran anak laki-laki, ketika mencari kuda-kuda pilihan, dan ketika lomba cipta syair antar suku. Anak laki-laki dijadikan unsur motivator, kuda digunakan untuk berperang, sedang syair sebagai ciri keutamaan lisan suatu suku.

Mereka kerap menyelenggarakan parade-parade dan kompetisi sastra. Media mereka adalah lisan. Mereka juga sering mengadakan festival-festival sastra tingkat tinggi, dengan mengangkat para juri yang bertugas menilai syair dan prosa hasil buah pikiran dan perenungan para sastrawan utusan masing-masing suku. Juri-juri ini dipilih dari para pakar yang menguasai parameter serta kaidah-kaidah bahasa dan sastra. Kemampuan tata bahasa dan kefasihan mereka sangat tinggi.

Setelah kehadiran Nabi Muhammad saw, yang datang dengan membawa kalam Ilahi, ternyata mereka tidak mampu menyainginya. Mereka semua seolah tenggelam dalam lautan keindahan ‘sastra’ yang belum pernah mereka kenal sebelumnya. Mereka semua terpana dalam kekaguman akan isi dan makna ucapan Muhammad saw yang mereka anggap luar biasa. Padahal isi pembicaraan beliau bukanlah sejenis pidato, pantun, syair, ataupun prosa. Yang jelas nampak dalam pembicaraan beliau adalah kalimat-kalimat lugas yang sarat dengan makna dan kebenaran.

“Katakanlah, “Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakan-nya kepadamu, dan tidak pula memberitahukan kepadamu. Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya. Maka apa kalian tidak memikirkannya?” (QS. 10:16).

Demikianlah, mereka terpaku di hadapan keagungan Al-Qur’an seraya tertunduk malu. Lihatlah Abu Jahal, pemuka orang-orang kafir dan musyrik, ketika datang kepada Nadlir bin Hakim, seorang jaksa dan tokoh pembesar mereka, dan berkata: “Wahai Nadlir, engkau termasuk orang yang paling tahu tentang Muhammad, coba katakan apa yang menarik dari Al-Qur’an?”. Nadlir menjawab, “Demi Allah, aku lebih tahu tentang syair serta seni bahasa dan sastra daripada kamu. Aku pun paham tentang sihir dan paranormal. Demi Allah, Al-Qur’an bukanlah jenis perkataan paranormal dan bukan pula jenis jampi-jampi tukang sihir. Sungguh, Al-Qur’an memiliki kemanisan dan keindahan yang menakjubkan. Bagian atasnya berbuah dan bagian bawahnya tumbuh lebat. Jelas kitab ini bukan buatan manusia.”. Abu jahal balik meminta, “Coba upayakan agar Al-Qur’an ini dinilai sebagai sihir. Pikirkan dan otak-atiklah!”. Akhirnya Nadlir pun menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah sihir yang dapat dipelajari. Maka, turunlah ayat:

“Sesungguhnya dia telah memikir-mikirkan dan membuat ketetapan. Maka celakalah dia! Bagaimana dia bisa membuat ketetapan (seperti itu)?. Kemudian celakalah dia! Bagaimana dia bisa membuat ketetapan (seperti itu)?. Kemudian dia memikir-mikirkan, kemudian dia bermuka masam dan merengut, kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan takabur (menyombongkan diri), lalu dia berkata: “(Al-Qur’an) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu), ini tidak lain hanyalah perkataan manusia” (QS. 74:18-25).

Bila para ahli bahasa, ahli sastra, ahli balaghah saja lumpuh dihadapan Al-Qur’an, bagaimana dengan yang selain mereka?

Kedua: Pendekatan Ilmiah

Dalam pendekatan ilmiah, ada dua sudut tinjauan. Tinjauan etimonologi dan tinjauan terminologi. Bahasa dan istilah atau makna.

Dari sudut bahasa, para ahli mendapatkan bahwa di setiap ayat, kata, bahkan huruf Al-Qur’an terdapat suatu pengertian yang hebat, yang menampilkan sisi-sisi kemukjizatannya. Makna yang tinggi itu dibentuk sedemikian rupa, sehingga mempunyai jangkauan-jangkauan yang jauh, cakupan yang luas, normatif, sekaligus metodologis dan sistematis.

Diriwayatkan, suatu hari datang seorang laki-laki kepada seorang ulama yang nampak begitu gembira dan senang. Lelaki itu bertanya, “Mengapa anda kelihatan demikian gembira?”. Ulama itu menjawab, “Aku baru saja membaca sebuah ayat Al-Qur’an. Dalam satu ayat tadi, aku mendapatkan dua kabar, dua perintah, dua larangan dan sekaligus dua anugerah”. “Apa itu termaktub semua?”, tanya lelaki itu. Sang ulama pun menjelaskan: “Inilah ayatnya:

“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa: “Susukanlah dia. Dan apabila kamu khawatir tehadapnya, maka jatuhkanlah ia ke dalam sungai. Janganlah kamu khawatir dan janganlah bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu dan menjadikannya (salah seorang) dari para Rasul” (QS. 28:7).

Kata “Kami ilhamkan” dan “kamu khawatir” adalah dua kabar. Kata “Susukanlah dia” dan “jatuhkanlah dia” adalah dua perintah. Kata “Janganlah kamu khawatir” dan “janganlah kamu bersedih hati” adalah dua larangan. Kata “Kami akan mengembalikannya kepadamu” dan “menjadikannya (salah seorang) dari para Rasul” adalah dua pernyataan anugerah”.

Juga dalam surah Ali ‘Imran, 3:191, yang berisi tentang pribadi Ulul Albab. Ayat ini bukan hanya bersifat normatif karena kandungan doktrinnya, tetapi juga berisi spesifikasi dan karakteristik Ulul Albab, metododologi pencapaiannya secara sistematik, sekaligus implikasi dan pengaruh positif dari terbentuknya pribadi Ulul Albab.

Demikian pula dalam surah 16:125. Ayat ini bukan saja berisi tuntutan normatif tentang da’wah, tetapi sekaligus bermuatan tuntunan metodologis yang sangat sistematis dan ilmiah. Serta masih banyak ayat-ayat lain yang serupa.

Adapun dipandang dari sudut terminologis (makna ayat), kandungan Al-Qur’an dapat diikhtisarkan menjadi tiga dimensi sifat: Komprehensif, karena membahas berbagai disiplin ilmu pengetahuan, seni, dan terapi jiwa; Eternal dan Reformis; serta menjangkau dimensi-dimensi non-inderawi (gaib).

Pertama, Al-Qur’an bersifat komprehensif, membicarakan segala aspek. Seluruh materi kehidupan terhimpun dalam Al-Qur’an melalui perkataan Nabi Muhammad “al-Ummiy”. Walaupun dia bukan seorang akademisi, bahkan tidak bisa baca tulis, namun dia mampu menjabarkan seluruh apa yang dibutuhkan manusia serta memecahkan berbagai problematika yang mereka hadapi. Problematika yang meliputi, hukum, undang-undang, sistem stratifikasi sosial kemasyarakatan, keluarga, serta masalah-masalah pribadi.

Misalnya, sistem hukum dapat dipecahkan melalui delapan kata: “Wa syaawirhum fil amri, faidzaa ‘azamta fatawakkal ‘alallah” (“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam permasalahan, maka jika kalian telah ber’azam (bertekad, sepakat) bertawakkallah kepada Allah”).

Dalam problema sosial ekonomi kemasyarakatan yang mengandung implikasi politik, cukup dipecahkan dengan empat belas kata. Tujuh kata dialamatkan kepada ‘Haakim’ (pemerintah): “Khudz min amwaalihim shadaqatan tuthahhiruhum wa tuzakkiihim bihaa” (“Ambillah dari harta-harta mereka sebagai shadaqah untuk membersihkan dan menyucikan mereka”). Dan tujuh kata lain dialamatkan kepada ‘mahkuuminn’ (rakyat): “Wa fii amwaalihim haqqun ma’luumun lis-saailiin wal-marhuum” (“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang-orang miskin yang meminta dan orang-orang miskin yang tidak memperoleh bagian”).

Dalam problem rumah tangga, dipecahkan melalui delapan kata: “Walahunna mitslul-ladzii ‘alaihinna bil-ma’ruuf walir-rijaali ‘alaihim darajah” (“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya”).

Jadi, untuk memecahkan problematika manusia, berupa hukum, undang-undang, masalah sosial, ekonomi, dan politik kemasyarakatan, serta kerumah-tanggaan, Al-Qur’an cukup hanya menggunakan tiga puluh kata saja.

Demikian pula problema keduniaan yang universal. Para ilmuwan, pengamat, pakar dan pemikir, telah menghabiskan umur untuk memecahkan problematika ini, namun tidaklah berhasil sebagaimana yang dicapai Al-Qur’an, yang telah membuka ‘kran’ ilmu pengetahuan bagi manusia hingga mengalir tak habis-habisnya. Al-Qur’an juga membuka kesempatan seluas-luasnya bagi manusia dalam mengembangkan dinamika keilmuannya.

Barangkali inilah pengertian kemukjizatan Al-Qur’an. Jika semua solusi qur’ani di atas diterapkan secara tepat, niscaya tidak akan muncul di permukaan bumi ini problema kemiskinan, kesenjangan sosial ekonomi yang lebar, situasi politik yang serba caos, disharmoni keluarga, dan kehancuran rumah tangga. Para hartawan dan pengusaha merasa aman dengan usahanya, para penerima shadaqah merasa tenang dengan keberlangsungan hidupnya, masyarakat umum merasa tenteram dalam harmonika kehidupan yang adil dan sejahtera.

Kedua: Al-Qur’an bersifat eternal dan reformis. Berjalan sesuai dengan tuntutan zaman. Tidak kontradiksi dengan perkembangan rasio dan keilmuwan. Allah mengetahui bahwa manusia selalu berkembang, dinamis dan progresif. Andaikan hukum-hukum alam serta teori-teori ilmiah disusun secara definitif dan terbatas, maka manusia akan kacau balau, bingung, dan akan ingkar serta mendustakan kebenaran agama.

Adalah suatu realitas yang tetap dalam tradisi kemanusiaan dalam hal produk berfikir. Bahwa kebenaran kemarin merupakan cerita bohong hari ini, dan kebenaran hari ini merupakan ketakhayulan hari esok. Rasio manusia senantiasa mencari-cari dan melayang. Karena ciri-ciri demikian, maka al-Qur’an datang dalam format elastis, berjalan seiring dengan derap kemajuan manusia. Semakin ilmu pengetahuan manusia bertambah, kian terbukti pula kemukjizatan dan kehebatan Al-Qur’an.

“Kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk serta pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka, bahwa sesungguhnya Al-Qur’an itu benar…” (QS. 41:53).

Demikian pula, setiap ditemukan kebenaran ilmiah, disitu sudah diisyaratkan dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an tidak bertentangan dengan kebenaran ilmiah. Dan inilah sebagian rahasia dari berbagai rahasia Al-Qur’an.

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari Allah, tentu mereka akan mendapatkan di dalamnya banyak yang bertentangan” (QS. 4:82).

Ketiga: Al-Qur’an mampu menjangkau dimensi-dimensi non-inderawi. Misalnya, Al-Qur’an telah memprediksi kemenangan Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel, setelah beberapa saat sebelumnya mengalami kekalahan besar dari bangsa Persia. Ternyata prediksi Al-Qur’an itu benar-benar terbukti (QS. 30:2-3).

Uraian di atas mengantar kita yakin akan kemukjizatan dan kehebatan Al-Qur’an. Manusia, bahkan jin, secara jelas tidak akan pernah mampu membuat semisal Al-Qur’an. Mengapa kita masih enggan mempelajarinya?.

Al-Qur’an pedoman hidup

Setiap manusia menginginkan hidupnya selamat di dunia dan di akhirat. Oleh karenanya, ia membutuhkan pedoman yang akan menuntunnya dalam meniti jalan kehidupan ini. Al-Qur’an, sebagai the way of life for human ciptaan Allah swt, akan dapat menjadi pedoman, petunjuk, pembimbing, penjelas, dan berita gembira bagai setiap manusia apabila:

Pertama: Meyakini penuh, tanpa ada unsur ragu terhadap kebenaran Al-Qur’an. Tiada satu sistem pun di dunia ini yang dapat menyelamatkan manusia, kecuali sistem Qur’ani. Semua sistem yang ada -baik politik, ekonomi, maupun social- yang tidak merujuk pada Al-Qur’an telah terbukti gagal menyejahterakan umat manusia. Islam adalah agama yang lengkap, utuh dan integral. Kita mesti yakin Islamlah alternatif sistem yang paling tepat untuk menyelesaikan berbagai problema kehidupan dalam segala dimensinya.

Kedua: Menjadikan Al-Qur’an sebagai mitra, guru, dan ‘surat cinta’. Tiada hari terlewatkan tanpa berkomunikasi dengan Kalam Allah, sebagaimana dilakukan para ulama shalafush-shalih. Hari-hari dalam kehidupan mereka tidak pernah lengang dari Al-Qur’an. Setiap bulan -minimal- mereka mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an. Pada masa Kekhalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau selalu menyelesaikan masalah-masalah kenegaraan dengan merujuk langsung pada Al-Qur’an. Beliau selalu membacanya meskipun hanya dua atau tiga ayat, kemudian berkomentar, ” mudah-mudahan aku tidak tergolong orang-orang yang meninggalkan Al-Qur’an”.

Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa membaca satu ayat Al-Qur’an, baginya pahala sepuluh kebaikan dalam setiap huruf. Dan barangsiapa yang mendengarkan, baginya cahaya di hari Kiamat.”

Para huffazh (penghafal Al-Qur’an) dianggap membuat suatu kesalahan bila dia lupa (tidak memperhatikannya). Oleh karena itu, kita harus memperbanyak membaca Al-Qur’an serta membiasakannya secara rutin dan berkesinambungan. Ini dalam rangka mengikuti jejak para sahabat, para ulama shalafush-shalih, sekaligus menaati perintah Allah dan Rasul-Nya untuk membaca dan memahami isi kandungannya.

Ketiga: Meperhatikan etika dan kaidah membaca dan men-tadabbur-i (memahami dan menghayati) Al-Qur’an. Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dalam keheningan. Maka menangislah dikala membacanya. Bila tidak bisa, maka berusahalah menangis-nangiskannya”.

Hadits ini mengharuskan adanya usaha ke arah penghayatan Al-Qur’an dan menjaga tipu daya setan yang selalu berusaha memalingkan manusia dari kesukaan tadabbur Al-Qur’an. Meskipun baru sampai pada taraf oral, kita dituntut untuk terus membaca, sehingga Al-Qur’an benar-benar membekas dalam kalbu.

Suatu malam, ketika kebanyakan manusia tengah terlelap dalam tidurnya, khalifah Umar bin Khattab sedang melakukan hirasah (ronda), beliau mendengar seseorang tengah membaca Al-Qur’an dengan syahdu:

“Dengan menyebut Asma’ Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Demi bukit. Demi Kitab yang tertulis, pada lembaran yang terbuka. Demi Baitul Ma’mur. Demi atap (langit) yang ditinggikan. Demi laut yang menggelora. Sungguh adzab Rabb-mu pasti dan nyata akan datang!”(QS. 52:1-7).

Ketika mendengar ayat ini dibaca, tiba-tiba beliau seperti menggigil dan berkata, “Sungguh, ini adalah sebuah persaksian (sumpah) yang benar. Demi Rabbnya Ka’bah “, setelah itu beliau terjatuh pingsan. Salah seorang sahabat yang sempat menyaksikan kejadian tersebut, segera mengangkat dan membawa masuk ke rumahnya. Tiga puluh hari beliau di sana karena sakit.

Menjadi kebiasaan Umar bin ‘Abdul ‘Aziz selesai shalat Isya’ beliau mengambil air wudhu kemudian shalat dan membaca ayat : “(Kepada malaikat diperintahkan): ‘Kumpulkan orang-orang zhalim beserta teman sejawat mereka dan sesembahan yang selalu mereka sembah selain Allah; maka tunjukkanlah mereka jalan ke neraka. Dan tahanlah mereka, karena sesungguhnya mereka akan ditanya’.” (QS. 37:22-24).

Beliau selalu mengulang ayat: “waqifuuhum innahum mas’uuluun” (Dan tahanlah mereka, karena sesungguhnya mereka akan ditanya). Demikian dilakukan sampai datang azan subuh. Wallahu a’lam bish-shawwab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *